Teguh Surya, Berjuang Untuk Pelestarian Hutan

Ririn Indriani Suara.Com
Rabu, 07 Oktober 2015 | 19:32 WIB
Teguh Surya, Berjuang Untuk Pelestarian Hutan
Muhammad Teguh Surya, Juru Kampanye Hutan, Greenpeace Indonesia. (Foto: suara.com/Ririn Indriani)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Menyeramkan dan tragis, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi hutan di Indonesia saat ini.

Bagaimana tidak, hutan yang identik dengan pepohonan yang rimbun, menyejukan dan dipenuhi oleh suara satwa liar, serta gemericik air yang mengalir deras di sungai, kini nyaris sirna. Yang ada sekarang adalah sebagian besar hutan telah berubah menjadi tanah gundul dengan api dimana-mana.

“Lima tahun lalu saya masih mudah ngeliat orang utan di hutan Kalimantan, tapi sekarang di tempat yang sama, sejauh mata memandang hanya tanah gundul yang dipenuhi api,” ungkap Muhammad Teguh Surya, Juru Kampanye Hutan, Greenpeace Indonesia kepada suara.com saat ditemui di kantornya, beberapa waktu lalu.

Beranjak dari keprihatinan itulah, ia dan kawan-kawan di Greenpeace Indonesia, gencar melakukan kampanye untuk menyelamatkan hutan di Indonesia. Selain terjun ke lapangan untuk melihat langsung kondisi hutan saat ini, ia dan tim juga melakukan dokumentasi untuk mengetahui hutan mana saja yang masih asri dan hutan yang telah rusak atau gundul.

Sayangnya, kata Teguh, sebagian besar hutan di Indonesia memang sudah rusak. Dari sekitar 180 juta hektar hutan yang dimiliki oleh negeri tercinta ini, kini tinggal sekitar 70an hektar luas hutan yang tersisa. Sementara lahan gambut yang awalnya mencapai total sekitar 21 juta hektar, kini tinggal tersisa sekitar 10 juta hektar.

“Itu pun masih harus diverifikasi lagi, karena tidak ada yang tahu persis berapa luas total hutan dan lahan gambut di Indonesia, karena pemerintah nggak punya satu referensi yang jelas. Data yang dimiliki masing-masing kementerian berbeda-beda, jadi nggak jelas berapa angka persisnya,” imbuh lelaki berkacamata ini.

Untuk itulah, lanjut dia, Greenpeace Indonesia terus mendorong pemerintah untuk membuat pemetaan tunggal tentang luas total hutan di Indonesia. Selain itu pemerintah dan swasta (kelompok bisnis) terus didesak untuk berkomitmen tidak melakukan penebangan hutan (no deforestasi).

“Kalau tidak diperjuangkan bagaimana nasib hutan kita ke depan, bagaimana pula nasib generasi selanjutnya. Sekarang saja sudah banyak yang terkena efek dari kabut asap akibat kebakaran hutan dan jumlahnya terus meningkat,” tegas Teguh.

Kebakaran hutan terjadi dua kali setahun ...

Kebakaran Hutan Terjadi Dua Kali Setahun
Semakin berkurangnya luas hutan dan lahan gambut inilah, kata dia, yang menyebabkan banyak binatang dari hutan seperti orangutan, harimau, gajah, dan beruang masuk ke perkampungan atau pemukiman penduduk.  

"Binatangnya stres karena habitatnya hancur, sementara mereka harus survive makanya lari ke kampung. Akibatnya, penduduk jadi ketakutan, stres juga dan terganggu karena kebunnya dirusak, makanannya dicuri. Akhirnya terjadi pertarungan antara manusia dan binatang," terangnya merinci.

Kekhawatiran lain bila kerusakan hutan terus terjadi, lanjut Teguh, hutan akan punah terlebih kondisinya saat ini hampir tidak terpulihkan. Selain itu, generasi selanjutnya bisa tidak memiliki lagi hutan yang memiliki banyak manfaat bagi keberlangsungan hidup manusia dan makhluk lain.

Padahal Indonesia, kata Teguh, termasuk salah satu negara dengan hutan tropis terbesar di dunia, setelah Brasil dan Kongo.

"Bencana asap yang berulang selama 18 tahun merupakan bukti bahwa kondisi hutan tak terpulihkan. Parahnya kalau dulu kebakaran hutan terjadi sekali setahun, sekarang dua kali dalam setahun," terangnya.

Belum lagi dengan persoalan semakin sulitnya masyarakat mendapatkan air bersih yang juga merupakan salah satu dampak dari kerusakan hutan dan lingkungan. Sekalipun ada sumber air, kualitasnya sudah tak layak untuk dikonsumsi lantaran banyak tercemar oleh bahan kimia berbahaya baik yang berasal dari limbah industri, limbah rumahtangga, dan pestisida.

"Sungai yang dulu airnya jernih seperti Sungai Siak di Riau, sekarang kualitas airnya sudah buruk. Ini bisa dilihat dari banyaknya ikan yang mati. Begitu pula Sungai Citarum, warna airnya sekarang kayak pelangi, karena limbah industri," terang lulusan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Riau, ini.

Konsekuensinya jadi aktivis

Konsekuensinya Jadi Aktivis
Kondisi hutan dan lingkungan yang sedemikian parah dan complicated ini, menurut Teguh, tentu saja harus terus diperjuangkan. Tidak hanya oleh aktivis, tapi juga pemerintah, swasta dan masyarakat Indonesia.

"Semua pihak punya cara sendiri untuk berjuang menyelamatkan hutan dan lingkungan, saya dan teman-teman berjuang dengan segala risiko dan konsekuensinya, pemerintah, swasta dan masyarakat juga harus berjuang dengan peran dan caranya masing-masing, karena ini menyangkut kepentingan bersama," jelasnya.

Berbicara soal risiko, Teguh menjelaskan, selama 12 tahun malang melintang sebagai aktivis lingkungan, sudah banyak pengalaman yang dialaminya. Ia bersama teman-teman aktivis pernah melakukan investigasi untuk mencari bukti perusakan hutan di Riau selama 15 hari.

"Selama investigasi, kami tidur di hutan bersama para penebang, melihat langsung aktivitas mereka, menggali informasi sebanyak-banyaknya, dan semua itu dilakukan sangat hati-hati karena sensitif," ungkapnya.

Pengalaman tak kalah mendebarkan adalah ketika Teguh membela kaum nelayan di kabupaten Bengkalis, Riau, kampung halamannya. Ia ingat betul waktu itu harus berhadapan dengan aparat setempat bahkan di bawah ancaman senjata api.

Namun, semua pengalaman menegangkan itu tak membuatnya jera, meski Teguh mengaku sempat trauma. "Yah, anggap saja waktu itu saya masih latihan mental, jadi ketika dihadapkan pada ancaman senjata api membuat saya terdiam dan bingung hingga berhari-hari. Tapi syukurlah bisa dilewati dengan baik dan psikologis saya kembali normal," akunya blak-blakan.

Menjalani hidup mengalir saja ...

Menjalani Hidup Mengalir Saja
Teguh mengaku, sama sekali tak menyangka bakal menjadi aktivis lingkungan seperti sekarang. Meskipun sejak kecil hidupnya sangat akrab dengan hutan, mengingat rumahnya di Pulau Bengkalis, hanya berjarak satu kilometer dengan hutan gambut, tapi ia tak pernah berpikir akan menjadi aktivis yang concern pada lingkungan hidup.

"Saya menjalani hidup mengalir saja. Jadi, waktu kecil pun nggak pernah terlontar ingin jadi apa. Kuliah pun ambilnya fakultas perikanan dan kelautan," imbuh anak keempat dari tujuh bersaudara ini.

Hanya saja selepas kuliah tepatnya 1997, Teguh yang aktif sebagai pecinta alam ini, mulai tertarik dengan isu-isu sosial, penegakan hak asasi manusia (HAM), dan kehutanan.

Ketertarikannya inilah yang membuat lelaki kelahiran 15 September 1979 ini kemudian aktif dalam berbagai kegiatan kampanye dan advokasi pada isu lingkungan hidup, khususnya pada sektor kehutanan dan perkebunan sawit pada 2002.

Tak hanya itu, Teguh juga aktif mendampingi dan memimpin advokasi hak-hak nelayan tradisional di tanah kelahirannya yang berkonflik dengan kelompok bisnis yang menggunakan alat tangkap merusak sejenis trawl di Selat Malaka. Perjuangannya tersebut dilakukan intensif selama dua tahun.

Sebagai aktivis lingkungan hidup, Teguh pernah menjabat sebagai Koordinator Kelompok Advokasi Riau pada periode 2002-2003, lalu menjabat sebagai deputi direktur Walhi Riau pada 2003-2008, Kepala Departemen Advokasi dan Kampanye Eksekutif Nasional Walhi (Friends of the Earth Indonesia) periode 2008-2012, dan sejak itu menetap di Jakarta.

Senang kemping dan mancing ...

Senang Kemping dan Mancing
Lantas, pada pertengahan 2008, ia mengikuti studi singkat tentang ekologi politik di institute of social studies di The Hague, Belanda.

Di tingkat regional Teguh pernah diberikan kepercayaan sebagai anggota board (Majelis) Friends of the Earth Asia Pacific periode 2009-2011. Dan kini ia bekerja bersama Greenpeace Southeast Asia, sebagai forest political campaigner di Greenpeace Indonesia, Jakarta.

"Semua itu saya lakukan karena saya sangat peduli dan prihatin dengan kondisi hutan dan lingkungan. Negeri ini rumah kita, kalau bukan kita yang berjuang, siapa lagi?" tegasnya bersemangat.

Ia menyadari bahwa perjuangannya bukanlah hal yang mudah, tapi harus terus dilakukan meski banyak konsekuensi dan risikonya. Beruntung pilihan hidupnya ini didukung oleh istrinya.

"Istri saya sangat memahami pilihan hidup saya, yang penting saya berjuang dengan perhitungan matang. Jadi, nggak konyol juga, apalagi sekarang punya empat anak," ujarnya bijak.

Meski sibuk dengan berbagai aktivitas, Teguh tetap memperhatikan keluarganya. "Waktu luang atau libur selalu saya sediakan untuk keluarga, kalau di rumah, anak-anak biasanya minta dimasakin nasi goreng buatan saya," terangnya yang memang senang masak ini.

Sedangkan untuk liburan, Teguh, istri dan anak-anak lebih memilih liburan bertema alam seperti pegunungan, hutan dan pantai. "Kami senang kemping dan mancing. Selain menghibur dan dapat melepas penat, liburan bertema alam juga cara kami menanamkan rasa cinta terhadap alam kepada anak-anak," jelas penggemar tempe dan daging kambing ini.

Itulah sepintas tentang sisi lain Teguh Surya di luar kesibukanya sebagai aktivis lingkungan, yang tetap membutuhkan keseimbangan dalam menjalani hidupnya.


BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI