Konsekuensinya Jadi Aktivis
Kondisi hutan dan lingkungan yang sedemikian parah dan complicated ini, menurut Teguh, tentu saja harus terus diperjuangkan. Tidak hanya oleh aktivis, tapi juga pemerintah, swasta dan masyarakat Indonesia.
"Semua pihak punya cara sendiri untuk berjuang menyelamatkan hutan dan lingkungan, saya dan teman-teman berjuang dengan segala risiko dan konsekuensinya, pemerintah, swasta dan masyarakat juga harus berjuang dengan peran dan caranya masing-masing, karena ini menyangkut kepentingan bersama," jelasnya.
Berbicara soal risiko, Teguh menjelaskan, selama 12 tahun malang melintang sebagai aktivis lingkungan, sudah banyak pengalaman yang dialaminya. Ia bersama teman-teman aktivis pernah melakukan investigasi untuk mencari bukti perusakan hutan di Riau selama 15 hari.
"Selama investigasi, kami tidur di hutan bersama para penebang, melihat langsung aktivitas mereka, menggali informasi sebanyak-banyaknya, dan semua itu dilakukan sangat hati-hati karena sensitif," ungkapnya.
Pengalaman tak kalah mendebarkan adalah ketika Teguh membela kaum nelayan di kabupaten Bengkalis, Riau, kampung halamannya. Ia ingat betul waktu itu harus berhadapan dengan aparat setempat bahkan di bawah ancaman senjata api.
Namun, semua pengalaman menegangkan itu tak membuatnya jera, meski Teguh mengaku sempat trauma. "Yah, anggap saja waktu itu saya masih latihan mental, jadi ketika dihadapkan pada ancaman senjata api membuat saya terdiam dan bingung hingga berhari-hari. Tapi syukurlah bisa dilewati dengan baik dan psikologis saya kembali normal," akunya blak-blakan.
Menjalani hidup mengalir saja ...