Suasana nyaman dan udara segar sangat terasa saat berkunjung ke salah satu kota industri di Jepang, Kota Kitakyushu di Pulau Kyushu. Meski berada di kawasan industri, kesan kota industri yang lekat dengan polusi sama seklai tak terasa. Langit masih biru cerah, udaranya pun bersih dan segar.
Padahal di kota tersebut ada pabrik baja yang cukup besar, Yahata Steel, yang merupakan afiliasi dari produsen terbesar baja di Jepang, Nippon Steel, di samping industri berat lainnya.
"Sekitar tahun 1960, terjadi kerusakan lingkungan serius di Kitakyushu. Langit abu-abu dan air menjadi kotor. Banyak anak-anak yang terkena penyakit pernafasan," kata Yamasita, staf Pemerintah Kota Kitakyushu.
Namun, lanjut Yamasita, kini kondisinya berbeda jauh. Langit kembali biru dan Sungai Murasaki di Kitakyushu telah jernih, karena limbah industri maupun rumah tangga diolah terlebih dahulu, sebelum dibuang ke sungai.
Sungai tersebut pada tahun 1960-an berwarna violet dan jorok karena limbah industri berat. Sungai dan laut terkontaminasi limbah sehingga ikan pun tak sanggup hidup.
Keberhasilan Kitakyushu mengembalikan langit biru dengan udara, sungai, laut, dan jalanan yang lebih bersih tidak lepas dari keprihatinan dari ibu-ibu rumah tangga yang khawatir pada kesehatan dan pertumbuhan anak-anak mereka. Mereka juga khawatir terhadap pasokan makanan, khususnya ikan, karena sungai dan laut tercemar.
Hal itu mendorong para ibu rumah tangga bergerak untuk melindungi keluarga mereka dengan membentuk asosiasi pada 1965. Mereka kemudian mengajukan petisi ke dewan kota dan industriawan agar mengatasi masalah pencemaran lingkungan yang sudah sangat parah waktu itu.
Mereka kemudian mendapat dukungan dari kalangan akademisi untuk menuntut pengembalian langit biru. Perjuangan ibu-ibu itu didokumentasikan dalam film "Aozora ga Hoshii" atau "We want Our Blue Sky Back".
Perjuangan ini tidak sia-sia. Sepanjang 1972 sampai 1991, pemerintah dan swasta merogoh kocek hingga 804,3 miliar yen atau sekitar Rp80,43 untuk memperbaiki lingkungan Kitakyushu. Sebagian besar atau sekitar 70 persen pengeluaran diambil dari kas pemerintah kota.
Sejak itu, masyarakat Kitakyushu mulai berbenah. Mereka tak mau hidup dalam lingkungan yang tidak membuat mereka nyaman dan justru mendatangkan banyak masalah, baik masalah lingkungan maupun kesehatan.
Gerakan itu mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah setempat hingga kini seleuruh industri di Kitakyushu wajib memiliki pengolahan limbah yang memenuhi standar.
"Tidak hanya industri, tapi juga warga di lingkungan permukiman juga harus memahami bagaimana mengolah limbah. Saat ini, di kota kami seluruh sampah kami pilah dan olah. Kami benar-benar menerapkan 3R, yaitu recycle, reuse, dan reduce," kata Kepala Bagian Pengembangan Nishihara Co LTD, Koichiro Eguchi.
Antara berkesempatan melihat langsung bagaimana industri daur ulang itu dijalankan di kota Kitakyushu. Bekerja sama dengan pemerintah dan Nishihara mereka berbagi tugas dalam mengumpulkan sampah.
Pemerintah kebagian mengumpulkan sampah organik, sedangkan Nishihara bertugas untuk mengumpulkan sampah-sampah anorganik dari perumahan, departemen store dan juga pabrik-pabrik.
"Sampah yang dikumpulkan ada botol plastik, botol kaleng, botol kaca, dan juga kardus. Itu yang ada di bawah tanggung jawab kami," kata Koichiro.
Dalam pengolahan sampah itu mereka memiliki industri tersendiri yang serba otomatis. Semua dijalankan oleh mesin dan hanya sebagian kecil yang dikerjakan secara manual oleh manusia, utamanya untuk kontroling mesin.
Di industri pengolahan sampah ini, setidaknya 16 ton sampah diolah setiap hari. Sampah itu dipilah-pilah berdasarkan jenisnya lalu dipres dan dipak, kemudian dikirim ke pabrik untuk diolah kembali.
Untuk botol plastik dan bahan plastik yang lain diolah kembali agar bisa menghasilkan biji plastik. Biji plastik itu lalu diolah kembali untuk menjadi produk plastik yang lain lagi. Seperti tas plastik, botol plastik lagi dan juga aneka olahan yang lain.
Begitu juga dengan bahan daur ulang dari sampah botol kaca yang bening bisa dijadikan botol kaca kembali. Namun jika botolnya berwarna gelap maka dipendam dalam tanah lantaran tidak bisa dipakai lagi.
"Kalau untuk kardus yang kita daur ulang adalah bagian tengahnya. Itu bisa kita jadikan sebagai balok balok padatan ataupun kardus baru lagi," ujar Koichiro.
Selain itu sampah yang lain juga diolah kembali. Seperti TV, kulkas, dan alumunium, diolah lagi dipakai untu menjadi lampu LEC. Lalu untuk reruntuhan bangunan diolah lagi menjadi kertas dan bahan campuran semen.
Kemudian untuk sampah magnet, radiator diolah menjadi batubara dan alumunium. Sedangkan untuk slag atau sisa pembakaran dipakai untuk pembangkit listrik.
Begitulah cara Kitakyushu menjadi kota zero emisi. Tidak ada sampah yang dibuang dan tidak terolah. Sehingga menjadikan kota itu bersih, bebas polusi dan juga tanpa emisi.
Sister City Kota Surabaya dan Kota Kitakyushu Jepang memantapkan kerja sama "sister city" atau antarkota antarnegara dalam bidang lingkungan hidup, khususnya pengurangan karbon dan pengelolaan lingkungan.
"Komitmen itu pula yang mendasari terjalinnya Green Sister City antara kedua kota tersebut," kata Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini di sela kunjungan ke Kitakyushu.
Menurut perempuan yang kini sudah mengakhiri tugasnya sebagai wali kota itu, kerja sama antara Surabaya dan Kitakyushu dimulai pada 1997 dengan fokus pada pengelolaan sampah.
Namun, pada masa-masa awal, wali kota mengakui kerja sama kurang berkembang pesat, lalu pada 2005, kedua kota sepakat lebih mengintensifkan program lingkungan, seperti metode Takakura dan pembangunan rumah kompos.
"Hasilnya, volume sampah yang masuk ke tempat pembuangan akhir (TPA) berkurang 10 hingga 20 persen," katanya.
Kerja sama yang telah terjalin, lanjut dia, kini mulai dikembangkan lebih komprehensif dengan adanya penandatanganan MoU antara Pemerintah Kota Surabaya dan Kitakyushu untuk menyepakati sembilan program pengelolaan lingkungan.
"Tahun lalu Surabaya dan Kitakyushu menyepakati pengembangan sembilan program, di antaranya pembuatan tempat pembuangan sementara (TPS) terpadu, instalasi pengolahan air limbah (IPAL) komunal, dan pengelolaan kawasan industri yang lebih ramah lingkungan," ujarnya.
Wali Kota Kitakyushu, Kenji Kitahashi mengatakan sampah adalah masalah dunia. Kitakyushu juga pernah mengalaminya. Melalui kerja sama kota kembar ini, Pemerintah Kota Kitakyushu membantu Surabaya dalam menanggulangi persoalan sampah.
Kenji Kitahashi pun berharap kerja sama ini bisa berjalan terus dan membawa manfaat bagi kedua kota. "Pengolahan limbah (sampah), penjernihan air, dan pembasmian demam berdarah menjadi konsen kerja sama ini," ujarnya.
Terkait masalah sampah, Kenji sempat kaget ketika melihat gunungan sampah di Surabaya. Hal ini diketahui Kenji saat mengunjungi Benowo, Surabaya barat, beberapa waktu yang lalu.
"Saya lihat gunungan sampah di Surabaya. Melalui kerja sama ini, saya yakin Surabaya bisa seperti Kitakyushu," katanya.
Seperti diketahui, sejak tiga tahun lalu, perusahaan pengolahan sampah di Kitakyushu, Nishihara, sudah melakukan pengolahan sampah di Surabaya. Dua mesin daur ulang sampah dari Nishihara ditempatkan di Sutorejo dan Wonorejo.