Mungkin Anda mengenal "Filosofi Kopi" sebagai novel karya Dewi Lestari atau film dengan judul yang sama. Tapi setelah film yang antara lain dibintangi Rio Dewanto dan Chicco Jerikho ini beredar, nama Filosofi Kopi pun diabadikan menjadi kedai kopi di bilangan Melawai, Jakarta Selatan.
Awalnya kedai ini dibuat untuk keperluan pengambilan gambar film, namun sekarang tempat ini telah menjadi tujuan baru untuk semua orang, dari berbagai kalangan dan umur untuk nongkrong.
"Awalnya gue diajak kolaborasi sama Angga Sasongko dan Handoko Hendroyono (Produser Eksekutif Filosofi Kopi) untuk ngejalanin kedainya. Akhirnya sekarang kita kolaborasi bareng, bareng yang lain juga, yakni istrinya Angga, Anggia Kharisma, Dewi Lestari dan Chicco Jerikho. Jadi kita berenam," cerita Rio Dewanto, salah satu pendiri Filosofi Kopi yang memerankan tokoh Jody dalam film "Filosofi Kopi".
Di film, Filosofi Kopi adalah sebuah kedai kopi yang didirikan barista andal bernama Ben dan sahabatnya, Jody. Sebagai barista, Ben memiliki cara tersendiri untuk menjamu para pelanggannya. Ia selalu menyelipkan secarik kertas berisi filosofi dari kopi yang akan dinikmati pada hari itu.
Kedai kopi ini menjadi latarbelakang tempat untuk beragam adegan dan cerita dalam film tersebut. Untuk memberikan pengalaman baru bagi para penontonnya, produser film Filosofi Kopi, Visinema Pictures pun mencoba 'menghidupkan' adegan, yakni dengan mengajak pengunjung datang ke kedai asli Filosofi Kopi. Dan, di situlah kedai "Filosofi Kopi" betulan dibangun.
Tak perlu memakan waktu lama untuk mencari kedai kopi satu ini. Tempatnya terbilang eye catching dan selalu ramai didatangi pengunjung. Jalur pedestrian di depan kedai ini kerap dijadikan anak muda untuk sekedar 'nongkrong'.
Seperangkat meja dan kursi diletakkan di bagian luar, dengan latar belakang deretan kaca bening tembus pandang, menjadi penanda kedai kopi yang resmi diluncurkan April lalu.
Dalam cerita, kedai ini adalah bekas toko kelontong milik ayah Jody yang keturunan Tionghoa. Saat sudah tak terpakai lagi, Jody dan Ben pun menjadikannya menjadi kedai kopi dengan modal seadanya. 'Sejarah' itu dihadirkan lewat tembok bata yang dibiarkan 'telanjang', untuk memperdalam kesan 'bongkaran' rak di toko klontong tersebut.
Di bagian lain, ada tiang-tiang bercat warna putih yang sudah memudar adalah warna asli toko kelontong milik ayah Jody. Keramik putih di dinding yang menjadi penanda khas dari bangunan orang Tionghoa pada masa itu, juga dibiarkan bertahan.
Tapi kini kedai itu tak lagi kosong. Berkunjung ke sana pengunjung akan disambut oleh riuh suara mesin espresso disela tangan barista sibuk meracik kopi untuk tamu.
Kedai yang tak terlalu luas ini selalu memberikan kehangatan bagi para tamu yang ingin menyesap secangkir kopi sambil bersantai.
"Kita pengen, mereka yang nonton film, bisa ngerasain dateng ke real kedainya di sini. Selain itu, ada juga semacam artspace, buat temen-temen seniman yang mau mamerin karyanya. Kalau lihat di depan itu kan ada banyak lukisan," tambah Rio.
Tapi tak seperti di kedai kopi lain, jangan berharap dapat bersantai sambil internetan menikmati Wi-Fi gratis di Filosofi Kopi. Pemikiran Ben yang "anti Wi-Fi" di novel ternyata benar-benar diterapkan di sini.
Karena kata Rio, Filosofi Kopi bukan tempat untuk orang-orang yang datang, tapi ingin asyik sendiri dengan teknologi atau internet. Kedai kopi ini ingin menjadi tempat di mana semua orang bisa merasa nyaman untuk datang, saling berinteraksi dan bercerita satu sama lain.
"Kita mau ngebalikin kedai kopi ke fungsi awalnya sebagai tempat bertemu, saling berbagi cerita, ngobrol, diskusi, interaksi," tambahnya.