Dia berdarah batak, dan besar di Medan. Tapi Nancy Margried Panjaitan fasih berbicara batik. Mulai dari sejarah, motif, filosofi hingga aturan penggunaan motif batik untuk upacara tertentu. Uniknya, Nancy memadukan batik yang usianya sudah ratusan tahun dengan teknologi informasi.
Batik fractal, demikian Nancy menamai buah karyanya. Nancy memang tak sendiri saat mengembangkan motif batik cantik dan geometris yang dihasilkan dengan pola matematis ini.
Sarjana Hubungan Masyarakat dari Universitas Padjajaran Bandung ini menggandeng dua rekannya, Muhamad Lukman dan Yun Hariadi, yang waktu itu adalah mahasiswa arsitektur dan matematika di Institut Teknologi Bandung.
Dengan bantuan teknologi tiga anak muda ini lantas 'mengolah' ribuan motif batik yang ada di bumi Nusantara. Dan, dengan menggunakan program yang dikembangkan tiga sekawan ini, siapapun kini bisa
mengembangkan motif batik hasil desain sendiri.
Mengapa disebut batik fractal? Menurut Nancy, fractal merupakan salah satu cabang ilmu matematika yang berfokus pada pengulangan, dimensi, literasi, dan pecahan. Dan jika diperhatikan lebih seksama, semua motif batik pasti mengandung unsur ini. Jadi di situlah benang merah antara batik dan ilmu matematika.
Di sela persiapannya untuk mengikuti konferensi di Brasil, penyuka musik jazz ini meluangkan waktu berbincang dengan suara.com. Ia mengisahkan ide lahirnya batik fractal mulai muncul sejak akhir 2006 silam.
"Lukman yang saat itu sedang membuat tesis iseng mendesain bunga di laptopnya. Saya lihat, kok lucu bunga itu. Malah mirip batik. Ternyata pola matematis dapat membentuk gambar geometris yang juga ditemukan pada motif batik," terangnya.
'Temuan' tak disengaja ini, mendorong tiga sekawan Nancy-Lukman-Yun untuk meriset motif batik Indonesia. Saat itu ada sekitar 300 motif batik yang terkumpul. Namun dalam perjalanannya, mereka membutuhkan bantuan alat kerja berupa perangkat lunak. Sejumlah programmer dihubungi untuk mengembangkan perangkat lunak yang dibutuhkan.
Dari situlah kemudian lahir perangkat lunak yang dinamai nama jBatik. Nancy mengisahkan, proses melahirkan jBatik tidak mudah.
"Prosesnya cukup panjang karena menggabungkan ilmu pengetahuan, seni, dan teknologi. Kami banyak berdiskusi dengan dosen, programmer, ahli dan pengrajin batik, sampai akhirnya temuan ini layak disebut sebagai ilmu pengetahuan dan dapat dikategorikan sebagai seni," Nancy mengisahkan awal lahirnya batik fractal.
Saat ide batik fractal tercetus, trio ini mencoba menerapkannya menjadi produk kain batik di bawah bendera Piksel Indonesia. Produknya tak hanya produk fesyen tetapi juga alat-alat rumah tangga.
"Tadinya hanya orang-orang terdekat saja yang beli. Lalu menyebar hingga ke Australia, Inggris, dan Swiss. Bangga juga bisa membawa nama Indonesia. Apalagi batik fractal termasuk karya seni yang dibuat dengan sistem, yakni matematika," ujar perempuan berdarah batak ini.
Nancy mengakui awalnya tak mudah menjelaskan konsep batik fractal kepada konsumen dan pembatik. Karena batik fractal ini identik dengan matematika, imajinasinya juga sangat luas, sedangkan pemikiran orang cenderung terbatas.
Namun menurut perempuan yang memilih lari untuk menyeimbangkan fisik dan jiwanya ini, kehadiran batik fractal justru bisa mengakomodasi imajinasi para desainer batik. Umumnya, saat mengembangkan
motif para pembatik tradisional terlebih dahulu membuat sketsa di atas kain.
Namun, dengan jBatik, perajin cukup bermain dengan tetikus lantas mereka bisa memodifikasi motif yang ada. Bahkan mereka bisa mengembangkan desain baru dari motif yang ada.
"Hasilnya motif makin beragam, produksi meningkat, harga bersaing, buntutnya kesejahteraan pembatik meningkat," ujarnya yakin.