Libatkan 15 Perempuan Sebagai Narasumber
Selain itu, lanjut Non, ada juga beberapa fakta hasil risetnya dengan melibatkan 15 perempuan pengguna high heels yang memiliki latar belakang berbeda.
Para perempuan tersebut menjabarkan motif mereka mengenakan sepatu hak tinggi, mulai dari menginginkan tubuh yang tinggi agar mendapat perhatian, hingga hanya sekadar ingin dibilang up-to-date.
"Sebenarnya ketika akan membuat tesis itu, saya hanya ingin tahu apa yang ada di benak para perempuan ketika mengenakan high heels. Selain karena saya juga pemakai heels, sehingga high heels kemudian menjadi simbol komunikasi dari para wanita," jelasnya yang kini bekerja sebagai fashion press assistant di Vinti Andrews, London, ini.
Pemaparan rinci dalam buku berjudul "Fenomenologi Wanita Ber-high Heels" ini, menurut Non, sebenarnya merupakan pertanyaan mendasar bagi semua perempuan yang mengenakan high heels, bahkan mungkin bisa menjawab pertanyaan kaum lelaki yang terheran-heran dengan perempuan yang amat menyukai jenis sepatu ini.
"Misalnya, mengapa perempuan tetap mengenakan sepatu hak tinggi padahal itu menyakitkan? Mengapa mereka rela 'berdarah-darah' demi dibilang cantik atau seksi? Dan masih banyak lagi pertanyaan lainnya yang sering dilontarkan terkait dengan high heels," imbuhnya.
Meski terkesan berat bila melihat judul bukunya, namun Non menggarapnya dengan bahasa populer yang cukup ringan, sehingga siapapun yang membaca akan mudah untuk memahami dan mencernanya.
"Jadi, siapapun termasuk pria bisa membaca buku ini dengan enak, karena memang bahasanya cukup ringan," tutur perempuan yang telah menjadi praktisi komunikasi pemasaran selama lebih dari 10 tahun ini.
Selain itu, buku setebal 112 halaman tersebut, kata Non, juga bisa dijadikan sebagai referensi atau literatur, karena berisikan fakta sejarah, pendapat, pengalaman, dan analisis atas fenomena high heels yang semakin hari kian diminati kaum perempuan terutama di kota-kota besar.
Pecinta Jins yang senang perawatan alami ...