Tradisi Ninjau, Tradisi Mengantar Haji di Bali

Esti Utami Suara.Com
Selasa, 15 September 2015 | 04:32 WIB
Tradisi Ninjau, Tradisi Mengantar Haji di Bali
Kloter pertama calon haji. (Antara)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Masyarakat Bali, khususnya yang tinggal di Jembrana memiliki tradisi unik saat musim haji. Tradisi itu disebut  "ninjau" atau mengantar jamaah haji merupakan momen unik yang telah dilakukan turun-temurun dan ditunggu-tunggu masyarakat.

"Saya tidak tahu kapan tepatnya tradisi 'ninjau' haji ini dimulai. Yang jelas, sejak saya kecil, tradisi ini sudah ada," kata Ustadz Sya'rani Yasin, salah seorang tokoh sepuh di Desa Pengambengan, Kecamatan Negara.

Yang unik dari tradisi ini, kata dia, setelah jamaah haji Kabupaten Jembrana diberangkatkan menuju Surabaya, Jawa Timur, masyarakat melanjutkan perjalanannya ke tempat-tempat rekreasi bersama keluarganya.

"Dulu iring-iringan pengantar jamaah haji bisa sampai ke asrama haji di Sukolilo, Jawa Timur, setelah jamaah masuk, pengantar melanjutkan rekreasi di kota itu. Tapi sekarang paling jauh sampai di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, bahkan sebagian besar hanya sampai di Pelabuhan Gilimanuk," ujarnya.

Meskipun bergeser dari Surabaya ke Banyuwangi atau Gilimanuk, dia mengatakan, kebisaan yang tidak berubah adalah mengunjungi objek-objek wisata secara beramai-ramai. Karena sudah menjadi tradisi, saat hari "ninjau" haji dipastikan anak-anak yang bersekolah memilih untuk libur, termasuk pekerja informal seperti anak buah perahu di Desa Pengambengan.

"Kalau hari 'ninjau' haji, sekolah-sekolah khususnya SD di desa ini banyak yang libur. Bukan karena tanggal merah, tapi karena tidak ada murid yang masuk. Mereka lebih memilih dimarahi guru karena membolos, dibanding tidak ikut 'ninjau' haji," kata pengasuh Pondok Pesantren Darussalam, Pengambengan ini, sambil tersenyum.

Dari sisi sejarah, dia menduga, tradisi ini merupakan sambungan dari kebiasaan masyarakat tempo dulu, saat mengantar jamaah haji lewat jalur laut di muara Desa Perancak.

Ia menuturkan, jaman itu, jamaah haji berangkat dari muara tersebut dengan diiringi tangis kerabat serta tetangganya sehingga lokasi tempat bersandarnya perahu kayu untuk mengangkut jamaah haji ke Arab Saudi, disebut Tanjung Tangis.

"Untuk menunaikan ibadah haji, jamaah harus menempuh perjalanan di laut dengan menggunakan perahu kayu sekitar enam bulan. Tangisan dari kerabat dan tetangga itu, karena belum tentu jamaah ini selamat sampai tujuan," ujarnya.

Di era modern, ketika jamah haji naik pesawat ke tanah suci, menurut dia, tradisi mengantar tersebut masih bertahan, tapi dalam bentuk yang lain. Tangisan saat keberangkatan jamaah diganti dengan turut bergembira karena ada kerabat atau tetangganya yang mampu menunaikan rukun Islam kelima tersebut.

Banyaknya murid yang libur diakui oleh Alfina Laila, salah seorang guru di Desa Pengambengan. Setiap "ninjau" haji terpaksa pihak sekolah meliburkan murid-muridnya.

"Dipaksa masuk juga percuma, karena tidak ada yang datang ke sekolah. Ya gak papa, 'ninjau' haji 'kan cuma satu tahun sekali," katanya.

Rengekan anak untuk "ninjau" haji juga membuat orang tua tidak berdaya, bahkan juga rela ikut libur bekerja, untuk berangkat ke tempat-tempat wisata baik di Kabupaten Jembrana, Buleleng hingga Banyuwangi.

Selain dengan sepeda motor, banyak masyarakat yang urunan untuk menyewa angkutan umum seperti bus, serta mobil pribadi.

Di sisi lain, hari "ninjau" haji juga ditunggu-tunggu oleh pedagang di sentra kuliner lesehan ikan bakar di Dusun Pabuahan, Desa Banyubiru, karena biasanya saat pulang dari tempat wisata, masyarakat mampir ke tempat mereka untuk makan.

"Kalau 'ninjau' haji seperti ini, pembeli meningkat. Biasanya dari sore sampai malam hari. Apalagi rata-rata mereka datang rombongan," kata Badawi, salah seorang pemilik lesehan ikan bakar. (Antara)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI