Suara.com - Di Surakarta, Semarang, dan Yogya namanya nasi kucing atau sego kucing, kalau di Bali namanya nasi jinggo.
Nasi jinggo merupakan makanan lintas ekonomi. Rakyat kecil sampai pejabat pejabat pemerintah, bahkan para Gubernur Bali suka menyantap nasi yang dibungkus dengan daun pisang.
Ketua Asosiasi Chef Indonesia Bali, Komang Adi Artana, nasi jinggo sudah ada sejak jaman dulu.
Dulu, katanya, nasi ini hanya disantap oleh kalangan buruh bangunan maupun supir. Seiring dengan perkembangan, nasi jinggo mulai disukai banyak kalangan.
“Kalau arti kata jinggo sendiri saya kurang mengerti, tapi yang jelas nasi ini banyak yang disukai warga Bali,” kata Komang Adi Artana di Denpasar, Kamis (10/9/2015).
Nasi jinggo asli Bali terdiri dari nasi dicampur suwiran ayam, tempe kering, gorengan kacang kedelai, serundeng, mie atau sayur, dan telur asin atau telur bacem. Umumnya, harga per porsi hanya Rp5.000 hingga Rp10 ribu, tapi tergantung juga dengan banyaknya isi pesanan.
Setiap perayaan, semacam acara ulang tahun kota atau kabupaten di Bali, nasi tersebut pasti tak pernah ketinggalan. Di acara ulang tahun Kodam Udayana beberapa waktu lalu, bahkan sampai menyuguhkan puluhan ribu bungkus nasi jinggo untuk warga. Gubernur Bali kalau bertemu rakyat juga selalu disuguhi makanan khas.
Penjual nasi jinggo mudah ditemui di sepanjang jalan, misalnya Jalan Thamrin, Gatot Subroto, dan Sudirman, Denpasar. Kehadirannya biasanya dari pagi sampai malam hari.
Nasi ini tambah nikmat kalau disantap ramai-ramai sambil nongkrong.
Proses pembuatannya tidak sulit. Pertama-tama siapkan daun pisang untuk pembungkus. Lalu, siapkan nasi putih yang punel, siapkan ayam yang sudah disuwir. Untuk membuat ayam suwir yang enak, dagingnya dicampur bumbu garam, air asam Jawa, daun salam, lengkuas, serai, cabai besar, cabai merah keriting, kecap, merica, gula merah, bawang merah, bawang putih, tomat, dan terasi, dan minyak goreng.