Suara.com - Setelah 30 kali mengalami revisi akhirnya naskah film yang dibuat Livi Zheng dinyatakan 'layak' untuk difilmkan. Serangkaian penolakan juga telah dialami Livi sebelum akhirnya lampu hijau itu dinyalakan, agar ia bisa mulai membuat film pertamanya. Dan ketika naskahnya dinilai sudah layak, Livi kembali harus bekerja keras meyakinkan kru film untuk mau bekerja sama dengan dirinya.
Itulah beratnya perjuangan yang harus dilakoni tokoh kita kali ini, Livi Zheng untuk memijakkan kakinya di pusat film dunia itu. Berbincang dengan suara.com di sebuah kafe di Kawasan Senayan di sebuah sore beberapa waktu lalu, Livi mengisahkan pekerja film di Hollywood sangat selektif. Mereka hanya mau bekerja pada sutradara yang nyata-nyata sudah punya nama dan menorehkan prestasi. Bahkan ketika seorang sutradara sudah memiliki nama, ketika film terakhirnya jeblok, maka itulah yang menjadi dasar penilaian pekerja film di sana.
Tapi pengalaman ini, justru membuat Livi Zheng yakin bahwa bukan sesuatu yang mustahil bagi 'orang luar' untuk menembus benteng Hollywood yang dikenal keras.
"Jangan pernah mundur ketika gagal atau ditolak. Ketika sudah mengambil pilihan, berusahalah untuk tetap berhasil di jalur yang kau pilih," ujarnya membagi motonya dalam mencapai sukses.
Livi yang dijumpai saat berlibur ke tanah air untuk menghadiri Kongres Diaspora Indonesia sembari mengurus peredaran film keduanya "Brush with Danger" mengakui bahwa tak mudah menembus benteng Hollywood. Industrinya yang sudah mapan, membuat pelaku di sana sangat selektif. Hanya mereka yang dinilai benar-benar layak yang 'boleh' berkecimpung di sana. Hal ini juga yang dihadapi Livi yang saat
itu baru berusia 20an. Selain minim pengalaman, masih ada faktor lain yang membuat upaya Livi untuk bisa eksis di Hollywood makin berat. Iaia perempuan dan berasal dari Asia.
Namun dengan kerja kerasnya, perempuan kelahiran Blitar, 3 April 1989 ini berhasil membuktikan berangkat dari sebuah mimpi, semua orang bisa mewujudkan cita-citanya.
Awalnya, anak kedua dari tiga bersaudara ini tidak pernah membayangkan bahwa suatu hari ia akan menjadi seorang produser di Hollywood, yang dikenal sebagai kiblatnya film dunia.
"Nggak pernah. Saya nggak pernah bayangin bisa menjadi produser film di Hollywood. Semua berawal dari cita-cita dan usaha saja," ujarnya.
Kiprahnya di Hollywood berawal dari olahraga wushu yang ditekunimnya sejak remaja. Demi mendalami wushu, Livi meninggalkan tanah air sejak duduk di bangku SMP. Pada saat itu ia meraih beasiswa untuk belajar film.
"Aku juga pas sekolah di Beijing cari uang sendiri. Dengan mengajar Wushu untuk anak TK sampai orang tua. Aku juga suka bantuin anak-anak yang kurang mampu," tuturnya.
Setelah lulus SMA di Beijing, ia kemudian melanjutkan kuliah S-1 di Universitas Washington, Amerika dan mengambil jurusan ekonomi. Saat menuntut ilmu ekonomi di Universitas Washington itu, perempuan yang mengaku selalu merasa homesick ini juga hanya ingin meningkatkan kemampuannya sebagai atlet Wushu.
Namun di sini, rasa cintanya pada film mulai tumbuh. Belajar dari kemampuan beladiri yang dipelajarinya selama tinggal di Beijing, Livi kemudian mencoba peruntungannya dengan menjadi tenaga sukarela untuk pembuatan set film pendek yang sedang dikerjakan temannya. Tanpa sungkan ia menjalani semua pekerjaan yang berkaitan dengan pembuatan sebuah film, mulai dari menjadi pemain pembantu, angkat-angkat lampu, menyiapkan kostum hingga mengurusi katering.
Dari situ rasa sukanya pada film makin menebal. Pengalaman ini sekaligus membuka matanya, jika ingin menekuni dunia ini maka tak bisa setengah-setengah. Kalau bikin film, ujarnya, jam kerjanya bisa 18 jam, bisa malam, bisa mulai kerja jam 6 sore, jam 12 malam, nggak mungkin sambil kerja yang lain.
Hingga pada satu titik ketika ia berhasil menyelesaikan kuliah strata satunya, ia dihadapkan pada pilihan apakah fokus pada ilmu yang dipelajarinya (ekonomi) atau ke film. Dan ia memutuskan akan mengejar karir di film.
"Kalau ekonomi itukan kayak bisnis bisa kapan aja ya, tapi kalau film itu musti dari awal. Kalau bisnis itu 30 atau 40 tahun masih oke. Kalau film, musti dari sedini mungkin," ujarnya memberi alasan tentang pilihannya.
Ia lantas mencoba mendaftar di Cinematic Arts di University of Southern California, AS sembari mengikuti kursus singkat stuntman di stunt school.
"Di situ diajarin bagaimana cara jatuh dari ketinggian, bagaimana nyetir mobil," lanjutnya.
Ia juga memberanikan diri memberikan skrip film kepada salah satu produser terkenal Hollywood yang ditemuinya di kursus wushu. Diakuinya, draft itu masih sangat kasar, hanya sekitar enam lembar. Tapi ia memberanikan diri menyerahkan draft itu, karena menurutnya idenya cukup kuat.
"Di sana (Amerika) itukan langsung jadi produser atau pemain film gak mudah. Nah suatu hari aku ketemu koordinator pemeran pengganti, Zean Thomas. Sekitar tahun 2008-an," terangnya.
Ia memang menerima banyak masukan dan bahkan harus merombak habis draft itu sebelum akhirnya dinilai sudah layak dibuat filmnya. Dan inilah yang menjadi film pertama Livi di panggung Holywood.
Tahun 2012 akhirnya Livi Zheng memulai syuting film pertamanya "The Empire's Throne" yang rampung pada 2013.
Dan menurutnya menjadi sutradara itu tidak segampang yang ia bayangkan. Tapi beruntung ia telah banyak terlibat dalam pembuatan film dalam berbagai posisi.
"Belajarnya butuh waktu lama dengan durasi yang panjang," katanya.
Tapi semua itu terbayar. Film "The Empire's Throne" yang ia buat saat usianya masih 23 tahun ini ternyata mampu mencuri perhatian industri film dan penonton di Hollywood. Ia bahkan secara khusus diundang oleh komunitas pembuat dan pencinta film kota Beijing. Ia diundang untuk menjadi pengajar tamu dan memberikan pelatihan di kampus-kampus jurusan sinematografi di Beijing, Cina.
Di Beijing ia banyak bertemu dengan para wartawan film yang tertarik menulis tentang latar belakangnya yang lahir di Jawa Timur, dan berkarir di Los Angeles. Kesempatan itu ia manfaatkan juga untuk mempromosikan film "Brush With Danger" yang saat itu sedang dalam proses pembuatan.
Hingga saat ini Livi Zheng telah memproduseri 4 film Hollywood, diantaranya "The Empire's Throne", "Legend of The Best", "Brush with Danger", dan "Untitled Action Thriller" yang akan dirilis tahun depan.
Tapi film "Brush with Danger" lah yang mengangkat nama Livi. Pasalnya, film yang mengisahkan perjuangan imigran gelap di AS ini masuk dalam seleksi nominasi Oscar. Film ini berhasil menyisihkan 4000 film Holywood yang diproduksi pada tahun 2014 dan masuk 300 besar.
"Brush with Danger" juga berhasil tayang di bioskop kota-kota besar di negeri Paman Sam, seperti New York, Dallas, Seatlle. Selain mendapat sambutan hangat dari pasar, saat acara gala premiere, Gubernur Oscar (Academy Awards) bahkan secara khusus datang guna menyampaikan apresiasinya pada film karya Livi ini.
Dalam film bergenre action-thriller ini, Livi Zheng berperan sebagai sutradara sekaligus pemeran tokoh utama. Di film ini ia banyak dibantu oleh adiknya Zen Zheng yang juga jago wushu.
"Dia menjadi partnet saya yang sempurna," terang Livi tentang peran sang adik dalam mendukung kariernya di dunia film.
Menurutnya, setelah berhasil memproduksi film pertama di Holywood tantangan yang ia temui justru lebih pada bagaimana meyakinkan visi yang ingin capai kepada para calon kru film yang direkrutnya.
"Sebetulnya tantangan terbesar saat membuat "Brush With Danger" adalah mengumpulkan tim profesional yang udah punya banyak pengalaman banyak untuk menjadi tim saya. Mereka harus diyakinkan dengan visi saya," ujarnya.
Sebagai sutradara, ia harus bisa meyakinkan krunya tentang visi film yang akan dibuat. Ini akan makin sulit jika film yang dibuat sebelumnya tidak sukses. Yang bisa dilakukan Livi saat itu adalah menunjukkan skenario yang dibuatnya.
"Berkat skenario itu banyak kru-kru profesional yang ngedukung," imbuhnya.
Sukses di negeri orang, tak membuat penyuka rawon ini lupa dari mana dia berasal. Ia berupaya untuk membawa film "Brush With Danger" untuk tayang di Indonesia. Film itu kini telah dinyatakan lolos sensor oleh Lembaga Sensor Film, dan rencananya film yang diproduksi oleh Sun and Moon Films itu akan mulai tayang di Indonesia pada Oktober atau November 2015.
Tak hanya itu, Livi yang kini berusia 26 tahun juga menyimpan mimpi, suatu saat ia bisa kembali ke tanah air dan berkarya di Indonesia. Secara perlahan ia mulai mengenalkan Indonesia pada rekan dan krunya dari Hollywood.
Dan sejauh ini, ujarnya, mereka sangat tertarik dengan budaya dan keindahan alam Indonesia. Mereka juga melihat ada banyak hal yang bisa dibuat film dari kondisi itu.
"Mungkin film sejarah atau film silat," ujarnya sambil menambahkan masih perlu banyak riset untuk membuat film Hollywood rasa Indonesia. Karena menurutnya selera Indonesia kadang berbeda dengan Hollywood.
Sebagai pekerja film, Livi mengaku ingin seperti Jet li dan Bruce Lee yang diidolakannya.
"Mereka jago baik di depan maupun di belakang kamera. Itu sebabnya nama mereka selalu dikenang," ujar Livi mengakhiri perbincangan sore itu karena harus bertemu dengan sejumlah kru media lainnya.