12 Karya Arsitektur Indonesia Unjuk Gigi di Frankfurt

Esti Utami Suara.Com
Sabtu, 29 Agustus 2015 | 14:32 WIB
12 Karya Arsitektur Indonesia Unjuk Gigi di Frankfurt
Ilustrasi arsitektur tropis. (shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Sebanyak 12 desain arsitektur kontemporer bertema tropikalitas dipamerkan dalam rangkaian acara Frankfurt Book Fair (FBF) 2015. Pameran yang mulai digelar Jumat (28/8/2015) ini merupakan kerja sama antara Komite Nasional dan Deutches Architekturmuseum Frankfut.

Ketua Komite Media dan Hubungan Luar Andy Budiman melalui siaran persnya mengatakan,  pameran ini dibuka resmi oleh Duta Besar Indonesia di Jerman, Fauzi Bowo. Pameran bertajuk "Tropicality: Revisited" ini merupakan rangkaian acara FBF 2015 yang akan berlangsung hingga Januari 2016, di mana Indonesia didapuk menjadi tamu kehormatan.

Rancangan para arsitek Indonesia yang ditampilkan adalah "Rumah Baca" karya Achmad Tardiyana, "Mesjid Baiturrahman" karya Urbane Indonesia, "Timber House" dari Studio Akanoma, "Andra Matin House" karya Andra Matin, "Studi-O Cahaya" karya Adi Purnomo, "Wisnu Steel House" karya Ahmad Djuhara.

Selanjutnya "Kineforum Misbar" karya Csutoras dan Liando, "Tamarind House" karya Gregorius Supie Yolodi dan Maria Rosantina, "Almarik Restaurant" karya Effan Adhiwara, "Eko Prawoto House" karya Eko Agus Prawoto, "House of Labo" karya Deddy Wahjudi dan "Ize Hotel" karya Antony Liu.

Arsitektur tropis, selalu menjadi tantangan bagi para arsitek Indonesia karena berbagai faktor. Tapi ada faktor utama yang menantang yakni, faktor teknis dalam menghadapi iklim seperti hujan deras, panas dan kelembapan yang tinggi.

Selain itu, ada faktor tren arsitektur global yang cenderung mengarah pada tema modernitas seperti penggunaan material baja atau kecenderungan desain gedung tinggi berpendingin ruangan atau desain resort tropis klasik yang modern.

Meski demikian, arsitektur tropis terus hidup dan berkembang sejalan dengan berbagai kritik terhadap arsitektur modern yang kurang sesuai dengan iklim dan lingkungan.

"Tropikalitas menjadi semakin relevan terutama bila dikaitkan dengan situasi saat ini, di mana kita sama-sama menghadapi ancaman krisis energi dan pemanasan global," ujar Avianti Armand, arsitek Indonesia yang menjadi salah satu kurator pameran ini.

Ia mencontohkan Mesjid Baiturahman di Kopeng, Yogyakarta. Masjid yang dibangun di salah satu desa yang rusak karena letusan Merapi pada 2010 ini, memiliki tampilan modern dengan menggunakan batu bata setempat yang terbuat dari sisa lahar Merapi.

Avianti menambahkan, ada pula inisiatif yang digagas Kineforum untuk menghadirkan bioskop di ruang terbuka atau biasa disebut Misbar (Gerimis Bubar) di Monas pada 2013. Tujuannya untuk membawa kembali budaya layar tancap di mana orang bisa berkumpul dan berinteraksi di ruang terbuka, yang sudah lama tersisih oleh bioskop modern di ruang tertutup. Karya-karya ini dinlai cukup inovatif dan mampu menjawab tropikalitas. (Antara)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI