Janji Kemerdekaan dari Jenny Tjoa

Esti Utami Suara.Com
Selasa, 18 Agustus 2015 | 08:53 WIB
Janji Kemerdekaan dari Jenny Tjoa
Jenny Tjoa bersama anak-anak di Yayasan Belajar Bersama Sojrs. (Dok. Yayasan Belajar Bersama Sjors)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

"Saya tidak ingin jadi apa-apa, habis mau apa lagi," jawaban Depi, seorang remaja dari sebuah pemukiman padat penduduk di kawasan Jakarta Barat, saat ditanya cita-citanya ini membuat Jenny Tjoa terhenyak.

Sambil menerawang Jenny mengisahkan, saat itu ia baru saja pulang ke tanah air setelah 17 tahun tinggal di Australia dan Singapura.

Jawaban Depi itu membuat Jenny, yang saat itu menjadi relawan bagi sebuah yayasan pendidikan bagi anak-anak jalanan, makin menyadari bagaimana kondisi lingkungan berpengaruh besar bagi perkembangan seorang anak. Tanpa ada panutan di sekitarnya, seorang anak bisa tumbuh tanpa arah. Bahkan lebih buruk lagi, akan banyak Depi-depi lain yang hidup tanpa cita-cita dan tak punya keinginan untuk mengubah nasib menjadi lebih baik.

Berangkat dari kondisi ini, Jenny yang saat itu masih berusia 28 tahun kemudian memutuskan untuk seratus persen meluangkan waktunya untuk 'membantu' menebar benih bagi anak-anak kurang beruntung.

"Karena setiap anak berhak untuk bermimpi," tegasnya sambil menambahkan ucapan Depi inilah yang kini dijadikan tagline "Yayasan Belajar Bersama Sjors" (BBS) yang didirikannya bersama Georges, lelaki berdarah Belanda-Ambon yang tak sengaja ditemuinya di sebuah kafe di Jakarta.

Jenny Tjoa saat membimbing anak-anak BBS. (Dok. Yayasan Belajar Bersama Sjors)

Keputusan ini diambil, karena anak kedua dari empat bersaudara yang dilahirkan di Medan, Sumatera Utara ini sadar, untuk mewujudkan misinya untuk menebar benih agar anak-anak, khususnya anak kurang mampu tak bisa dilakukan sambil lalu.

Ia harus fokus. Jangan sampai, ujarnya, langsung menangani tiga hingga empat hal sekaligus tapi tak ada yang meraih hasil maksimal.

Diakuinya, BBS memang tak bisa dikatakan sebagai anak kandungnya. Ia dan Georges hanya meneruskan yayasan pendidikan untuk anak jalanan yang 'ditinggal' pendirinya karena harus pindah ke luar Jakarta. Ketika penggagas proyek itu berhenti, Jenny dan Georges memutuskan untuk mengambil alih dan meneruskan serta mengembangkan program belajar dalam yayasan baru bernama BBS.

Berbekal dana yang berhasil dikumpulkan Georges dari sejuamlah donatur di negeri kincir angin,BBS pun mulai menapaki langkahnya dengan 40 siswa. Menurut Jenny hampir 90 persen modal awal BBS berasal dari dana ini, namun kini secara bertahap mereka mulai mencari donatur dalam negeri untuk membantu mengentaskan 330 anak dari keluarga kurang mampu yang bernaung di bawah BBS.

BBS kini yang kini menginjak tahun pertama memperkenalkan kurikulum baru yang diharapkan dapat membangun kepercayaan diri dan karakter anak-anak, khususnya yang tinggal di daerah kumuh. Kegiatan belajar berlangsung sekali sepekan, setiap Minggu siang selama satu setengah jam. Tempatnya, di lapangan futsal di bawah jembatan layang Jembatan Tiga, Jakarta Barat.

Membentuk pribadi-pribadi yang berkarakter menjadi tujuan utama BBS, karena menurut Jenny, karakter adalah dasar untuk apapun yang akan dibangun di atas kehidupan seorang anak.

"Pendidikan nonformal ini bertujuan membangun karakter dan moral sebagai dasar dari semuanya. Pintar akademis tapi tanpa karakter apa gunanya?" kata perempuan penyuka kopi ini.

Bersama BBS, anak-anak lebih banyak belajar hal-hal yang bersifat nonformal untuk menjadikan mereka pribadi-pribadi berkarakter. Salah satu yang diajarkan adalah soal kedisiplinan. Setiap anak dapat belajar secara cuma-cuma di BBS hingga berusia 17 tahun. Setelah melewati batas usia tersebut, murid BBS akan diberi kesempatan untuk kembali berkecimpung sebagai relawan.

Awalnya tak mudah untuk mengajarkan hal itu pada anak-anak. Namun belajar dari pengalaman selama di lapangan, akhirnya BBS berhasil menemukan formula 'pendidikan' yang tepat. Buku-buku tentang pendidikan yang dibacanya, menurut Jenny yang belajar food science di Australia ini ikut berperan dalam penyusunan formula ini.

Ada empat tema masuk dalam kurikulum nonformal yang diterapkan BBS tahun ini, yakni soal membangun mimpi, mengenal Indonesia, inspirasi dan keluarga. Tema Indonesia mencakup banyak hal, seperti budaya, pahlawan dan museum.

Meski bersifat pendidikan nonformal, setiap anak yang baru bergabung dengan BBS akan diberi seragam dan peralatan sekolah.Ini diberikan jika mereka konsisten hadir selama empat pekan berturut-turut.

"Ini akan memberikan rasa percaya diri pada anak-anak yang sebagian besar tinggal di pemukiman kumuh. Dengan seragam ini membuat mereka menjadi bagian dari sebuah komunitas," terang Jenny.

BBS juga kerap menghadirkan para relawan dari berbagai latar belakang pekerjaan, beberapa di antaranya adalah figur yang dikenal masyarakat, untuk membuka pikiran anak-anak serta merangsang mereka untuk memiliki cita-cita beragam.

Langkah ini ternyata cukup ampuh untuk menarik anak-anak bergabung dengan BBS. Jumlah anak yang bergabung dengan BBS terus bertambah, hingga sekarang mencapai lebih dari 300 anak. Ini juga menjadikan anak-anak makin rajin belajar bersama BBS yang digelar setiap hari Minggu pagi.

Namun sistem sanksi juga diterapkan. Mereka yang absen selama tiga kali juga tidak boleh lagi mengikuti BBS. Agar semua anak dapat merasakan bagaimana menjadi pemimpin, posisi ketua kelas digilir.

Perkembangan tiap anak dapat dipantau melalui buku agenda yang diberikan kepada masing-masing siswa. Di buku itu, anak diajak untuk menuliskan apa yang telah mereka pelajari dan bagaimana ilmu  tersebut mendekatkan mereka dalam menggapai mimpi.

"Seperti 'diary', guru juga akan menulis komentar di sana," kata dia.

Cara informal ini diharapkan mampu memerdekakan anak-anak BBS. Anak-anak bisa bebas memilih hidup mereka, dan lebih berani mengejar mimpi mereka.

Menawarkan 'janji kemerdekaan' seperti ini awalnya sama sekali tak terlintas di benak Jenny yang memang tidak berkecimpung di bidang pendidikan.

"Sama sekali tidak terpikir akan bekerja di bidang yang tidak saya pelajari, tapi 'passion' saya di sini," kata Lulusan Food Science dari Universitas New South Wales yang menghabiskan 17 tahun hidupnya di Australia dan Singapura.

Passion itu ditemukannya ketika ia kembali ke Indonesia pada akhir 2013. Lama meninggalkan Tanah Air, Jenny merasakan banyak perubahan terutama di Jakarta yang menjadi kota metropolitan.

"Tapi dunia anak tidak berkembang, janji kemerdekaan (soal pendidikan) belum tercapai," ujarnya. Maka di sinilah Jenny kini, meluangkan waktu dan tenaganya untuk mewujudkan janji kemerdekaan untuk anak-anak yang kurang beruntung.   

Jenny bersama media. (Dok. Yayasan Belajar Bersama Sjors)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI