Albert Wijaya, Chef yang Mengawali Langkahnya dari Telur Kecap

Esti Utami Suara.Com
Selasa, 04 Agustus 2015 | 10:37 WIB
Albert Wijaya, Chef yang Mengawali Langkahnya dari Telur Kecap
Albert Wijaya (suara.com)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Albert Wijaya masih mengingat jelas masakan pertamanya, telur dadar bumbu kecap. Masakan sederhana ini dibuatnya saat ia masih duduk di bangku sekolah dasar, dan dimasak hanya untuk iseng.

Namun, itulah momen yang membuat Albert yang kini  berumur 26 tahun suka memasak. Dan, seiring dengan bertambahnya usia, ia makin yakin passionnya ada di dapur. Mengolah bahan makanan  menjadi makanan yang lezat dan disenangi orang lain!

"Saat stres saya biasanya lari ke dapur, dan melakukan eksperimen," ujarnya dalam perbincangan dengan suara.com di sela pembukaan restoran kedua yang dibidaninya  di bilangan Kebayoran Baru,
Jakarta Selatan pertengahan Juli lalu.

Dengan masih mengenakan kostum sebagai chef, Albert mengisahkan, awalnya kedua orang-tuanya yang pengusaha tidak mendukung jalan yang ia pilih. Tetapi lelaki yang belum genap setahun menikah ini bersikeras untuk membuktikan bahwa ia mampu hidup dan bertahan di industri kuliner.

Bagi Albert Wijaya, memasak bisa mengatasi stres. (suara.com)

Maka selepas SMA, Albert memilih belajar teknologi pangan di Food Science & Technology California State Polytechnic University-Pomona, Amerika Serikat. Dan, empat tahun belajar di Pomona Albert tak pernah menyia-nyiakan kesempatan untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya. Ia memuaskan rasa dahaganya untuk mendalami kisah di balik layar teknologi pangan.

Tak jarang ia memanfaatkan waktu luang untuk mengunjungi daerah sekitar untuk mengamati kebiasaan warga setempat dalam mengolah makanan. Tak ketinggalan juga cara mereka menyantap makanan itu.

Semua ini dilakukan untuk mencari jawaban atas kegelisahan di hatinya. Ada pertanyaan yang mengganjal di hati Albert, mengapa Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris masih tergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan pangannya.

“Coba kita lihat, pangan apan yang tidak diimpor dari luar? Katanya negara agraris tapi masih tak yakin dengan produk pangannya sendiri?” ujarnya masgul.

Pertanyaan ini terus menggelayuti pikirannya hingga selama ia menuntaskan kuliahnya di jurusan Food Science & Technology California State Polytechnic University-Pomona. Menuntut ilmu di Pomona, membuatnya tahu dan paham soal teknologi pangan. Tapi Albert merasa masih ada yang kurang. Menurutnya, apa yang ia pelajari selama di kampus hanya berkutat di seputar area ilmiah dan rumus tentang makanan.

Namun ia merasa masih 'rabun' soal cara mengolah makanan yang lezat. Rasa ingin tahu ini membawanya kembali ke bangku sekolah di Le Cordon Bleu, Los Angeles. Sejak saat itu dunia pangan pun makin
merasuk ke dalam darahnya.

“Masak jadi ‘segalanya’ untuk saya. Saya menghabiskan waktu lengang untuk masak. Kalau suntuk, satu-satunya obat, ya, masak,” imbuhnya. Memasak baginya adalah seni.

Namun sekembalinya ke tanah air, belum terlintas di pikiran Albert untuk menjadi chef dan membuka restoran, apalagi memiliki jaringan restoran. Ia malah mendaftar di Contessa Premium Foods dan
sempat menjadi bagian dari tim riset dan pengembangan di Contessa Premium Foods, California, dan pengembang bisnis di Futami Food & Beverages.

Tapi Albert tak bertahan lama di sana. Ia merasa, menjadi orang kantoran dan bekerja di belakang meja atau laboratorium bukanlah habitatnya.

“Rasanya itu bukan tempat seharusnya saya berada. Saya ingin di dapur, saya ingin memasak, saya mau buka restoran!” suaranya masih terdengar kencang saat mengisahkan momen-momen yang 'memenjarakan' hidupnya itu.

Ketidakpuasan ini mendorong Albert memutuskan untuk membuka restoran waralaba pertamanya di Indonesia, Hokkaido Ramen Santouka.  Saat menjalankan usaha pertamanya inilah, Albert seolah menemukan sesuatu yang selama ini  mengusik pikirannya.

Usaha ini sukses berjalan, tapi Albert tetap tak puas. Ia butuh tantangan baru, yakni memiliki restoran sendiri dengan konsep dan makanan yang ia rumuskan dan kembangkan sendiri.
Setelah melalui riset panjang, dan berkali-kali gagal saat ujicoba maka hadirlah The Holy Crab.

Restoran yang menyajikan hidangan laut ini diadopsi dari kebiasaan makan warga Lousiana dan menjadi destinasi para pecinta kepiting premium di ibukota. Tak sampai tiga tahun The Holy Crab telah memiliki dua cabang baru.

Bagi Albert, menjalankan bisnis kuliner bukan melulu mencari uang. Mengurus bisnis kuliner menurutnya, harus penuh dengan sentuhan pribadi si pemilik demi menghadirkan pengalaman dan cita rasa personal bagi semua tamu yang datang. Maka jangan heran, jika Albert secara aktif terlibat secara pribadi mengurus restoran miliknya.

"Tak hanya masakan, tapi juga musik atau bahkan lampu tak luput dari perhatian saya," ujarnya sambil menambahkan ia juga selalu minta chef di dapurnya untuk mencicipi dan memastikan makanan yang disajikan lezat. Jika memang tak enak, ia tak segan meminta chefnya untuk tidak menghidangkan masakan itu.

The Holy Crab, restoran pertama yang dibidani Albert Wijaya. (suara.com)

Beruntung ia pernah belajar teknologi pangan dan sekolah masak, sehingga ia paham betul bagaimana membuat makanan terbaik. Ia paham bagaimana reaksi kimia di balik semua proses memasak, mengapa api harus selalu besar, mengapa minyak untuk menggoreng harus banyak, bagaimana cara buat daging lebih cokelat, dan bagaimana sebagian makanan cepat berubah warna saat dimasak.

Bagi Albert yang antara lain mengidolakan chef Ferrara Nadia yang merupakan ahli gastronomi, restoran juga bukan sekadar bisnis atau tempat nongkrong bersama teman-temannya. Melainkan, sebuah komitmen hidup jangka panjang yang akan terus ia jaga dan kembangkan.

Kelezatan makanan menjadi prioritasnya. Haram baginya, jika ada pengunjung yang meninggalkan restorannya dengan perasaan kecewa atau bahkan gerutuan karena makanan yang disajikan tidak enak. Meski diakuinya, keinginan untuk memuaskan pengunjung ini kadang tak mengenakkan. Tapi ia tak keberatan dengan itu semua, karena ia merasa ini adalah konsekuensi dari jalan hidup yang dipilihnya.

"Ini jalan hidup yang saya pilih, jadi lebih baik  saya memastikan semuanya baik-baik saja,  daripada di luar dikritik habis-habisan," ujarnya dengan mata menerawang.

Albert  sadar jalan yang dipilihnya tidaklah mudah. Banyak orang, ujarnya, tak tahu beratnya perjuangan membuka restoran dan menjalankannya lantas dengan seenaknya mengkritik dan bicara jelek tentang restoran yang dikunjunginya.

“Ternyata dikritik itu tidak enak. Pengalaman ini membuat saya lebih menghargai makanan yang saya cicipi," ujarnya sambil terbahak.

Namun memiliki restoran, juga bukan menjadi tempat pemberhentian terakhir yang diingini Albert. Ia menyimpan mimpi untuk bisa membuka food estate. Laki-laki yang hobi basket dan menyelam ini bisa memiliki lahan yang cukup luas dan membangun  pertanian dan restoran di atasnya. Ia ingin petani dan mereka yang berada di bagian hulu penghasil pangan lebih dihargai. Karena baginya, hidup itu dikatakan sukses jika bisa memberikan manfaat bagi orang lain.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI