Albert Wijaya masih mengingat jelas masakan pertamanya, telur dadar bumbu kecap. Masakan sederhana ini dibuatnya saat ia masih duduk di bangku sekolah dasar, dan dimasak hanya untuk iseng.
Namun, itulah momen yang membuat Albert yang kini berumur 26 tahun suka memasak. Dan, seiring dengan bertambahnya usia, ia makin yakin passionnya ada di dapur. Mengolah bahan makanan menjadi makanan yang lezat dan disenangi orang lain!
"Saat stres saya biasanya lari ke dapur, dan melakukan eksperimen," ujarnya dalam perbincangan dengan suara.com di sela pembukaan restoran kedua yang dibidaninya di bilangan Kebayoran Baru,
Jakarta Selatan pertengahan Juli lalu.
Dengan masih mengenakan kostum sebagai chef, Albert mengisahkan, awalnya kedua orang-tuanya yang pengusaha tidak mendukung jalan yang ia pilih. Tetapi lelaki yang belum genap setahun menikah ini bersikeras untuk membuktikan bahwa ia mampu hidup dan bertahan di industri kuliner.
Maka selepas SMA, Albert memilih belajar teknologi pangan di Food Science & Technology California State Polytechnic University-Pomona, Amerika Serikat. Dan, empat tahun belajar di Pomona Albert tak pernah menyia-nyiakan kesempatan untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya. Ia memuaskan rasa dahaganya untuk mendalami kisah di balik layar teknologi pangan.
Tak jarang ia memanfaatkan waktu luang untuk mengunjungi daerah sekitar untuk mengamati kebiasaan warga setempat dalam mengolah makanan. Tak ketinggalan juga cara mereka menyantap makanan itu.
Semua ini dilakukan untuk mencari jawaban atas kegelisahan di hatinya. Ada pertanyaan yang mengganjal di hati Albert, mengapa Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris masih tergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan pangannya.
“Coba kita lihat, pangan apan yang tidak diimpor dari luar? Katanya negara agraris tapi masih tak yakin dengan produk pangannya sendiri?” ujarnya masgul.
Pertanyaan ini terus menggelayuti pikirannya hingga selama ia menuntaskan kuliahnya di jurusan Food Science & Technology California State Polytechnic University-Pomona. Menuntut ilmu di Pomona, membuatnya tahu dan paham soal teknologi pangan. Tapi Albert merasa masih ada yang kurang. Menurutnya, apa yang ia pelajari selama di kampus hanya berkutat di seputar area ilmiah dan rumus tentang makanan.
Namun ia merasa masih 'rabun' soal cara mengolah makanan yang lezat. Rasa ingin tahu ini membawanya kembali ke bangku sekolah di Le Cordon Bleu, Los Angeles. Sejak saat itu dunia pangan pun makin
merasuk ke dalam darahnya.
“Masak jadi ‘segalanya’ untuk saya. Saya menghabiskan waktu lengang untuk masak. Kalau suntuk, satu-satunya obat, ya, masak,” imbuhnya. Memasak baginya adalah seni.