Nadiem Makarim, Bukan Juragan Ojek Biasa

Esti Utami Suara.Com
Rabu, 15 Juli 2015 | 09:59 WIB
Nadiem Makarim, Bukan Juragan Ojek Biasa
Nadiem Makarim (kiri) bersama para mitra Go-Jek. [Suara.com/Deny Yuliansari]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Nama Nadiem menjadi buah bibir seiring dengan makin tersohornya nama Go-Jek. Apalagi ketika Go-Jek disoal oleh tukang ojek tradisional karena dinilai mengusik lahan yang selama ini menjadi sumber mata pencaharian mereka.

Sebelum terjun ke bisnis berbasis aplikasi, lelaki kelahiran 4 Juli 1984 ini adalah seorang konsultan manajemen di kantor McKinsey & Company Jakarta. Dalam periode itu, ia mendirikan Young Leaders for Indonesia, sebuah lembaga non-profit yang mengajarkan modul kepemimpinan kepada mahasiswa terbaik di seluruh Indonesia dalam rangka mempersiapkan mereka untuk terjun ke kancah dunia profesional.

Nadiem juga tercatat sebagai Co-founder dan Managing Director Zalora Indonesia yang kini telah menjadi situs fesyen online terbesar di Indonesia. Belakangan ia memutuskan meninggalkan Zalora demi
mengejar gairahnya menjadi orang merdeka dengan mendirikan usaha pendidikan baru, Top Tier Academy. Top Tier Academy adalah program persiapan percepatan kepemimpinan dan universitas untuk Indonesia yang bertujuan untuk program sekolah top di luar negeri.

Laki-laki yang menyandang gelar BA dari Brown University, dan MBA dari Harvard Business School ini mengaku memutuskan menjadi entrepeneur karena tak suka dikontrol.

"Saya tidak betah kerja di perusahaan orang lain. Saya ingin mengontrol takdir saya sendiri," katanya sambil terbahak.

Nadiem Makarim (suara.com)

Itu salah satu alasannya mendirikan Gojek, yang disebutnya sebagai perusahaan sosial yang membantu tukang ojek menjadi lebih profesional sekaligus memberikan solusi bagi lalu lintas yang dialami warga Jakarta.  

Mengapa ojek yang dipilih? Nadiem mengakui ia telah lama 'jatuh cinta' pada ojek. Sejak masih menjadi karyawan yang berkantor di kawasan SCBD, Nadiem lebih memilih ojek ketimbang mobil pribadi
untuk menundukkan kemacetan Jakarta.

"Hidup saya selalu dikelilingi ojek. Dulu saya, bisa lima kali sehari naik ojek. Karena mobilitas tinggi, harus meeting di mana pun jadi panggil ojek. Bisa dibilang sejak dulu saya cinta ojek," ujarnya.

Kecintaannya pada tukang ojek, mendorongnya untuk melakukan sesuatu. Pada 2011, saat masih berstatus sebagai karyawan  Nadiem mulai  merintis ojek yang lebih profesional. Misinya cukup mulia, Ia menyimpan mimpi untuk meningkatkan pendapatan para tukang ojek di Jakarta dengan membuat mereka lebih produktif dan tidak lagi hanya menunggu dan mengantar penumpang.

Dari hasil survei yang dilakukannya, terungkap banyak tukang ojek yang mengeluh lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menunggu penumpang. Saat pertama kali Go-Jek berdiri, sistem yang digunakan masih sangat sederhana.

Kala itu, Go-Jek melayani pesanan ojek melalui call center, yang kemudian operator akan mencari driver yang terdekat. Call center bakal memastikan kedatangan driver dengan sistem navigasi dan koordinasi pelanggan.

Lantas, sejak tahun lalu Go-Jek bertransformasi menjadi perusahaan teknologi berbasis mobile. Selain menyediakan sarana teknologi, Go-Jek Indonesia juga memberikan smartphone sebagai kelengkapan utama menerima panggilan dari pelanggan.

Di samping perangkat lunak, Nadiem juga menggagas kebutuhan branding Go-Jek melalui pakaian khusus bercorak warna hijau dan helm berlisensi SNI. Dan usaha Nadiem tak sia-sia. Dari semula hanya bermitra dengan 200 tukang ojek, kini mitra Go-Jek Indonesia sudah mencapai angka belasan ribu tukang ojek yang tersebar di empat kota.

Selain itu, Go-Jek telah bekerjasama dengan hampir 100 perusahaan yang menjadi pelanggan korporat. Dengan sayap bisnis perusahaan yang terus bertumbuh, Nadiem sudah membawahi sekitar 70 karyawan Go-Jek.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI