Suara.com - Siapa yang tak kenal dengan sutradara andal yang satu ini, Rako Prijanto. Namanya kian melejit saat menyutradarai Sang Kiai (2012), film yang berhasil menyabet banyak penghargaan bergengsi itu.
Dan, di film itu pun ia didaulat menjadi sutradara terbaik di Festival Film Indonesia (FFI) 2013. Sebuah prestasi yang sangat membanggakan tentunya.
Tak hanya prestasi yang diraihnya, lelaki kelahiran Magelang, 4 Mei 1972 ini juga mengaku, mendapat banyak pengalaman berkesan selama menggarap film yang mengangkat seorang tokoh agamis tersebut.
“Dari 17 film yang telah saya buat, mungkin yang paling menyentuh adalah film Sang Kiai, karena film ini mengangkat tokoh agamis tradisional moderat dan berlatar belakang perjuangan bangsa yang dilandasi oleh semangat religius,” ceritanya kepada suara.com saat ditemui di kantornya di Jalan Adityawarman, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.
Pengalaman menyentuh itu dialami Rako terutama ketika melakukan riset untuk film tersebut. Ia mengaku ketika pendalaman karakter --bersama Christine Hakim yang berperan sebagai Nyai Kapu (Masrurah) dan Ikranagara sebagai KH Hasyim Asy'ari, mengalami beberapa kejadian yang membuat hatinya bergetar hingga tubuhnya pun merinding lantaran merasakan betapa kuatnya aura sang tokoh ketika diperankan oleh dua pemain film berkarakter kuat tersebut.
Saat mendatangi Pesantren Kapu di Kediri dengan mengenakan pakaian yang biasa dipakai Nyai Kapu, cerita Rako, Christine Hakim disambut hangat oleh cucu-cucu Nyai Kapu. Bahkan secara spontan mereka menyebut Christine seperti eyangnya (Nyai Kapu, red).
"Waktu Christine Hakim tiba di pesantren, para cucu Nyai Kapu spontan berucap, eh, eyang putri kundur, lalu mereka langsung menciumi tangannya. Di momen itulah hati saya merasakan sesuatu yang berbeda dan membuat saya sempat merinding," ungkapnya.
Pengalaman berkesan lainnya dialami pula saat Rako, Ikranagara dan lainnya diundang ke rumah seorang tokoh Kediri. Ia bercerita ketika duduk di belakang rumah joglo sang tokoh tersebut dimana di situ ada pohon mangga, Ikranagara mengambil lampu senter untuk mencari mangga yang jatuh.
Namun, setelah selesai mencari mangga yang jatuh, tiba-tiba Ikranagara terdiam sehingga menimbulkan pertanyaan bagi Rako. "Om Ikra kenapa, kok diam aja, capek? Sakit?" Lantas, Ikranagara pun menjawab: "Nggak kok, nggak kenapa-kenapa. Saya heran aja, tangan saya kok bau cendana ya."
Mendengar penuturannya itu, lalu Rako pun mencium tangan Ikranagara dan benar, ternyata tangannya memang bau cendana. Di situlah Rako jadi teringat cerita dari salah satu putri KH Hasyim Asy'ari yang mengatakan bahwa saat kecil sering diajak mencari mangga menggunakan senter itu.
"Itu seperti yang dialami oleh Om Ikra, karena tangannya bau cendana, jadi banyak orang yang mencium tangannya seperti sedang salim," imbuh lelaki berperawakan besar yang murah senyum ini.
Selain melakukan riset untuk pembuatan film Sang Kiai, lelaki yang hobi fotografi ini juga meluangkan waktu ziarah ke makam tokoh-tokoh Kediri di sekitar Pesantren Tebu Ireng. Yang jelas selama menggarap film tersebut, Rako mengaku tak hanya wawasan dan pengetahuannya tentang sejarah masyarakat agamis di Indonesia bertambah, tetapi juga mendapatkan pengalaman spiritual yang begitu membekas di hatinya.
Cinta seni sejak kecil ...
Cinta Seni Sejak Kecil
Baginya membuat film tak hanya sebatas seni, tetapi juga belajar begitu banyak hal yang berharga yang tak bisa dinilai dengan uang, mulai dari sejarah, karakter manusia, kehidupan, nilai-nilai dan masih banyak lagi. Itulah yang membuat Rako terpacu untuk terus belajar dan mendapat banyak pengalaman dari karya-karya film yang dibuatnya.
Begitu kayanya pengalaman yang didapat selama berkecimpung di dunia film, membuat Rako semakin yakin bahwa profesinya ini memang passion-nya. Terlebih sejak kecil, ia memang sudah mencintai dunia seni. "Dari kecil sering nonton TV hingga larut malam. Bahkan saya merasa turning point saya adalah ketika ulang tahun yang ke-13, waktu itu bapak saya kasih hadiah kamera video kalau sekarang seperti handycam. Di situlah saya sering bereksperimen dengan alat itu," ceritanya panjang lebar mengingat masa lalu.
Sejak itulah bungsu dari tujuh bersaudara itu mulai tertarik dengan berbagai hal yang berkaitan dengan seni akting dan film. Hanya saja ketika itu, Rako belum terpikir atau bercita-cita ingin menjadi sutradara.
Semua itu dilakukannya masih sebatas hobi yang kemudian mengalami proses panjang yang akhirnya membawa Rako menjadi seorang sutradara ternama. "Saya sempat menekuni dunia fotografi cukup lama kemudian beralih ke dunia film setelah diajak oleh Rudi Sudjarwo. Belajar editing, script writing, asisten sutradara dan akhirnya menjadi sutradara," jelas si penulis puisi yang dipakai dalam film Ada Apa Dengan Cinta ini.
Perjalanannya menemukan 'soulmate'-nya ini tak lepas dari peranan sang ayah. Yah, selain kerja keras dan perjuangan gigih Rako, ayahnya juga punya andil yang begitu besar atas keberhasilannya.
Ia mengungkapkan saat akan menentukan dimana akan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, ayahnya justru menyarankan agar memilih kuliah yang tak menyita waktu sehingga tetap bisa menyalurkan bakatnya di dunia seni. Itulah yang kemudian membuat Rako memutuskan untuk kuliah di Sekolah Tinggi Ekonomi Perbankan Indonesia (STEKPI).
"Sebenarnya saya diterima di teknik industri Trisakti dan seni murni di ITB, tapi bapak saya malah menyarankan saya kuliah di STEKPI, karena kuliahnya nggak nyita waktu sehingga tetap bisa menyalurkan bakat seni saya," cerita anak dari pasangan Sutarjo Kolopaking-Tuti S Sutarjo ini.
Apa yang diprediksi oleh ayahnya itu ternyata benar. Setelah memutuskan kuliah di STEKPI, Rako tetap punya banyak waktu untuk mengalurkan hobinya di bidang seni, mulai dari main band, fotografi, melukis, nonton film dan masih banyak lagi.
Berkat arahan ayahnya inilah, bakat seni Rako kian berkembang secara maksimal bahkan ia benar-benar menemukan passionnya di dunia film. "Saya merasa diberkati sekali dan sangat berterima kasih dengan ayah saya. Ini sebuah karunia yang oke banget buat saya," ungkap Rako yang mengawali karirnya di dunia film sebagai script writer film Bintang Jatuh dan Tragedi.
Film terbaru dan keluarga kecilnya ...
Film Terbaru dan Keluarga
Lantas, apa kesibukannya saat ini? Rako menjelaskan saat ini sedang sibuk mempersiapkan syuting dan promo film terbaru yang dibintangi oleh Raisa dan Chicco Jerikho.
Setelah syuting di Jakarta selesai dilakukan, rencananya September hingga oktober mendatang akan melanjutkan sebagian besar syutingnya di New York. Dipilihnya bulan tersebut, kata Rako, untuk mendapatkan nuansa musim gugur seperti yang disettingnya dalam film tersebut.
Ia menargetkan film yang sudah mengantongi dua kandidat judul, yaitu Terjebak Nostalgia dan Letters for Raisa itu bisa rampung pada Desember.
"Untuk tayangnya di bioskop-bioskop di tanah air, kami targetkan pada Februari bertepatan dengan hari Valentine, karena filmnya memang bertema cinta," jelasnya yang mengaku punya obsesi bikin film tetralogy tentang Majapahit yang disebutnya sebagai proyek mimpi.
Di tengah-tengah kesibukannya itu, lantas, kapan waktu khusus untuk keluarga? "Yang jelas Sabtu dan Minggu, itu hari khusus untuk keluarga. Saya nggak akan ngambil tugas apapun di dua hari itu," tegas ayah dari dua anak ini.
Di dua hari itu ia benar-benar memanfaatkan waktu bersama keluarga kecilnya itu yang banyak dihabiskan di rumah. Rako mengaku, paling senang nonton DVD bersama anak dan istrinya sembari menikmati camilan atau makan bersama menikmati masakan buatan istri tercinta.
"Istri saya senang masak dan saya paling suka Woku Ayam dan Ikan Kuah Asam buatannya," puji Rako tentang masakan istrinya yang lezat itu.
Sementara untuk liburan, baik Rako maupun sang istri dan kedua anaknya lebih menyukai liburan ke tempat-tempat bertema alam seperti gunung atau pantai. "Menikmati pemandangan alam ya, makanya kami lebih senang kalau liburan bawa mobil sendiri biar puas eksplornya, terus bisa puas juga berburu kulinernya," jelas lelaki yang senang joging dan jalan santai bersama istrinya setiap Sabtu atau Minggu pagi itu.
Itulah kehidupan seorang Rako Prijanto yang tetap berusaha menjalani hidup secara seimbang antara karier dan rumah tangganya.