Suara.com - Malam mulai larut, tapi energinya seolah tak surut. Matanya terus berbinar, saat mengisahkan perjalanan dan mimpinya sebagai pembuat film dokumenter. Gelap malam seolah tak mampu memudarkan pemikirannya yang kritis dan tajam.
Ucu Agustin, tokoh kita kali ini memang selalu penuh energi. Juga ketika berbincang dengan suara.com di kediaman almarhum Nurcholish Madjid (Cak Nur) di bilangan Tanah Kusir Jakarta Selatan pekan lalu.
Lantas mantan jurnalis yang kini lebih dikenal sebagai penulis dan salah satu pembuat film dokumenter terbaik di tanah air ini memaparkan ia sedang menyiapkan film dokumenter tentang Cak Nur. Pada saat yang sama Ucu juga sedang menyiapkan film dokumenter tentang anak dari pejuang hak asasi manusia, Munir.
Namun dalam berkarya, lulusan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengaku tak mau ngoyo. Maka ketika ia menyadari film tentang Cak Nur masih jauh dari siap, ia tak segan untuk menunda pemutaran perdana yang sebelumnya direncanakan akan dilakukan pada haul ke-10 Cak Nur pada bulan Agustus mendatang.
Ia juga tak pernah memasang target untuk menjadi sangat produktif. Ia hanya berusaha untuk terus berkarya sesuai kata hati dan sebaik mungkin. Ia tak ingin hanya menghasilkan karya, tetapi karya seni yang memiliki fungsi.
"Jalan saja. Tapi saya percaya medium ini lebih efektif memberikan perspektif dibanding medium lain," terangnya.
Perempuan berbintang leo ini juga tak berpretensi agar filmnya memiliki efek tertentu. Meski ia berharap filmnya mampu menggerakkan perubahan ke arah yang lebih baik.
"Kita bisa menetapkan tujuan tapi nggak bisa menentukan hasil," imbuhnya.
Jika ia sering memotret isu-isu sosial dan isu perempuan dalam karyanya, itu memang sudah menjadi passionnya sejak dulu. Namun menurutnya, beberapa di antaranya tidak didesain dengan sengaja. Perempuan itu kebetulan muncul dalam proses pembuatan film.
Seperti ketika ia sedang membuat dokumenter tentang dunia pertelevisian Indonesia, muncul Luviana yang berkasus dengan tempatnya bekerja. "Ragat'e Anak" juga mengangkat isu perempuan. Film ini memotret tentang prostitusi 'terselubung' di taman pemakaman Gunung Bolo di Tulungagung, Jawa Timur. Film yang diproduseri Yayasan Kalyana Shira ini ditayangkan di Festival Film Internasional Berlin 2009 sehingga memaksa pemerintah kabupaten Tulungagung menutup lokalisasi ini.
Setelah hampir 10 tahun menekuni film dokumenter, Ucu makin yakin dengan jalan yang dipilihnya. Dan ia tak ingin membangun dunianya sendiri. Ia bermimpi mengumpulkan 'daya' untuk membuat film dokumenter. Ia melihat daya itu amat sangat besar, tapi hingga kini belum ada wadahnya.
"Saya akan sangat senang jika bisa terlibat dalam karya kolaborasi, yang bisa menggerakkan anak muda untuk ramai-ramai membuat film dokumenter. Mari kita menuliskan sejarah kita masing-masing," ujarnya sembari menambahkan siap mewakafkan waktunya jika proyek ini terwujud.
Ucu memang tak berani terlalu berharap, apa yang dilakukan akan bisa langsung membawa perubahan yang masif. Tapi ia berharap dengan kemenangan-kemanangan kecil yang diraih perubahan besar itu akan diraih.
"Kita bisa mengumpulkan banyak kemenangan kecil untuk sebuah kemenangan besar," ujarnya.
Perjalanan Ucu menjadi salah seorang pembuat film dokumenter ini dimulai ketika ia masih remaja. Ini terjadi saat perempuan kelahiran Sukabumi, 19 Agustus 1976 ini untuk pertamakalinya dari sebuah pondok pesantren di Jakarta pulang ke kampungnya di Sukabumi.
Dalam perjalanan itu, Ucu mendapati kenyataan bahwa ada banyak perempuan dari Sukabumi yang menjadi istri simpanan. Kenyataan itu membuat Ucu yang saat itu masih belasan tahun mulai mempertanyakan banyak hal. Dan kelak pertanyaan-pertanyaan itu menjadi alasan untuknya untuk menekuni dunia jurnalistik.
Sikap kritisnya makin berkembang saat ia menuntut ilmu di IAIN Syarif Hidayatullah. Ia rajin menuliskan pandangannya di sejumlah koran. Setelah lulus kuliah, Ucu menjadi kontributor pada majalah berita Pantau, sebelum akhirnya pada tahun 2000 bergabung dengan Kantor Berita Radio 68H. Ia juga aktif menjadi penulis untuk sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang transformasi konflik.
Selain itu, perempuan yang memiliki tinggi 155 centimeter ini juga rajin menulis artikel dan cerita pendek di koran-koran.
Namun dunia jurnalistik tak mampu memuaskan Ucu. Ia merasa dibatasi dalam berkarya.
"Di media kita tak bisa mengangkat kenyataan secara utuh. Dibatasi durasi dan halaman, kadang ada kebijakan editor yang membuat berita yang kita buat tak bisa tampil utuh," terangnya.
Ketidakpuasan ini yang mendorong Ucu melirik pembuatan film dokumenter. Lewat media ini, Ucu merasa lebih leluasa mengeksplore lebih dalam sebuah isu yang menjadi perhatiannya yakni kemanusiaan.
"Dengan media audio visual penonton bisa melihat sendiri," tegasnya.
Jejak Ucu di dunia film dokumenter mulai terjejak pada 2005. "Death in Jakarta" adalah film dokumenter pertamanya. Film yang memotret kesulitan warga miskin Jakarta saat mengurus pemakaman keluarganya yang meninggal ini dibuat dengan bantuan dana dari Jakarta International Film Festival.
Sejak itu Ucu telah menghasilkan tak kurang 15 film dokumenter, termasuk "Di Balik Frekuensi" yang mendapat sambutan hangat dari publik. Film yang dirilis pada 2013 ini, hingga kini masih sering diputar di kampus-kampus. Dokumenternya yang lain adalah "Bab Akhir Pramoedya", "Ragat'e Anak" dan "Konspirasi Hening".
Ucu juga menulis beberapa buku anak-anak dan cerpen. Pada tahun 2003 ia menerbitkan lima buku anak-anak bertema Islam. Cerpennya berjudul "Lelaki yang Menetas di Tubuhku", masuk dalam antologi cerpen "Un Soir du Paris" (Suatu Sore di Paris) yang juga mmemuat tulisan karya sejumlah penulis ternama lainnya seperti Clara Ng, Seno Gumira Ajidarma dan Agus Noor.