Turunnya nilai yen, kemudahan mengurus visa dan berbagai inisiatif lain untuk memikat wisatawan asing yang dilakukan pemerintah Jepang ternyata membawa segudang komplikasi. Misi dari semua ini adalah untuk meregangkan anggaran Jepang dengan 'menjual' beberapa situs Warisan Dunia yang telah diakui UNESCO.
Ya, pariwisata adalah satu dari banyak industri Jepang yang tertatih-tatih dari pertumbuhan ekonomi yang lamban, pengetatan anggaran serta keengganan orang asing datang berkunjung karena biaya hidup yang mahal. Tapi kini, Jepang telah menjadi tujuan favorit seiring dengan melemahnya nilai tukar yen yang saat ini mencapai 123 yen per dolar.
Tahun 2013, untuk pertama kalinya wisatawan asing yang berkunjung ke Jepang melebihi 10 juta orang dan meningkat menjadi 13,4 juta tahun lalu. Dan pada 2020, ketika Tokyo menjadi tuan rumah Olimpiade, ditargetkan angka ini melonjak menjadi 20 juta.
Perdana Menteri Shinzo Abe telah melompat pada kereta musik dengan "Cool Japan" dan "Omotenashi," atau kampanye hotel gaya Jepang. Juga kampanye merek nasional yang memanfaatkan produk dan konsep dianggap unik Jepang, seperti "anime" kartun dan tradisional "washoku" Masakan .
Tampaknya kampanye ini terbayar, pada bulan April saat bunga sakura mekar yang bertepatan dengan Paskah dan liburan Asia, tercatat rekor 1,7 juta turis asing datang berkunjung. Pada bulan Mei, wisatawan keseluruhan dua kali lipat menjadi 1,6 juta, yang sebagian besar datang dari Cina, Hong Kong dan Korea Selatan.
"Ini adalah nilai yang cukup baik bagi kita saat ini," kata Grant Lutwyche, turis dari Australia yang sedang mengunjungi kawasan kuil Asakusa, di Tokyo.
Tapi booming membawa tantangan. Investasi di bidang infrastruktur ternyata sangat tertinggal. Banyak pekerjaan di industri jasa yang masih kosong.
"Kami membutuhkan lebih banyak staf yang dapat berbicara bahasa asing, terutama Cina," kata Noriko Fukazawa, direktur Fancl Ginza Square.
Untuk memikat wisatawan untuk boros membelanjakan uangnya, Jepang telah memangkas pajak penjualan pada banyak item disukai oleh wisatawan asing dan menyiapkan counter bebas pajak di ratusan toko di Tokyo. Bahkan hal ini juga berlaku di toko-toko obat-obatan dan suplemen yang banyak menjadi tujuan turis Cina dan Rusia.
Jepang mengharapkan belanja wisatawan bisa melebihi 4 triliun yen atau sekitar 41,5 miliar dolar pada tahun 2020, naik dari ¥ 1,6 triliun yen tahun lalu.
Namun untuk mengakomodasi pertumbuhan itu, peregangan pun tak bisa dihindari. Meskipun Jepang memiliki beberapa sistem kereta terbaik di dunia, tapi investasi di restoran baru dan hotel jauh tertinggal.
Kamar hotel menengah kini terasa sangat kurang memadai. tapi justru menciptakan ceruk untuk hotel kapsul yang telah direnovasi dan diubah menjadi hostel backpacker dengan tarif 16 dolar per malam.
Kesulitan lain adalah kurangnya mesin ATM. Mesin ATM akan mengambil kartu bank asing. Dan masih banyak hotel dan pelaku bisnis lain yang enggan menerima pembayaran dengan kartu kredit asing.
Wisatawan juga masih menghadapi kelangkaan tanda-tanda dalam bahasa asing saat mereka menavigasi kereta bawah tanah labirin.
Seorang pejabat badan pariwisata Jepang, Takahashi mengatakan pemerintah bertekad untuk memperbaiki masalah tersebut. Tujuan lainnya adalah untuk mendapatkan wisatawan untuk daerah yang di masa lalu diabaikan baik oleh orang asing dan warga Jepang sendiri.
"Satu hal yang dapat membantu kita menemukan kembali nilai lokasi tersebut adalah pengalaman mereka," kata Takahashi. (news.com.au)
Wisatawan Membludak, Ini Dampak yang Dirasakan Jepang
Esti Utami Suara.Com
Selasa, 23 Juni 2015 | 16:29 WIB
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
BERITA TERKAIT
Dinas Sosial Bogor 'Biarin' Korban Bencana, Pegawai Jalan-jalan ke Bali Pakai Anggaran Rp900 Juta?
14 November 2024 | 23:34 WIB WIBREKOMENDASI
TERKINI
Lifestyle | 20:12 WIB
Lifestyle | 19:15 WIB
Lifestyle | 18:42 WIB
Lifestyle | 18:29 WIB
Lifestyle | 17:55 WIB