Amalia Prabowo, Mengubah Disleksia Menjadi Berkah

Esti Utami Suara.Com
Rabu, 03 Juni 2015 | 10:08 WIB
Amalia Prabowo,  Mengubah Disleksia Menjadi Berkah
Amalia Prabowo (suara.com)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Berkali-kali menghadapi 'kejatuhan' tak membuat Amalia Prabowo terpuruk. Dua kali harus berpisah dengan pasangan hidup serta digusur dari posisi puncak sebuah perusahaan advertising terkemuka masih
membuatnya kuat.

Tapi ketika putra sulungnya, Aqillurahman  A.H. Prabowo alias Aqil divonis menderita disleksia, perempuan yang biasa disapa Lia ini benar-benar merasa hancur. Sebagai orang tua tunggal yang harus membesarkan dua anaknya seorang diri, ini sama sekali sesuatu yang diharapkan. Apalagi selama ini ia dibesarkan dengan kredo prestasi akademis adalah hal utama dalam meraih sukses dalam hidup. Sementara sebagai penderita disleksia, bukan perkara bagi Aqil untuk berprestasi di sekolah.

Sarjana sosiatri dari sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta ini sempat menyalahkan Tuhan. Bahkan vonis ini juga menjauhkan Lia dengan Aqil. Hingga akhirnya, ketika ia bisa berdamai dengan penyakit  yang diderita Aqil, situasi ini justru mampu mengubah hidup dan pandangannya pada kehidupan.

"Selama lebih 40 tahun saya melihat hidup adalah pilihan. Bahwa sukses dan gagal ada di tangan kita sepenuhnya. Tapi ini membuat saya menyadari ada Tuhan yang maha memiliki kehidupan. Ada batas kemampuan manusia dalam menghadapi kehidupan," ujarnya dalam perbincangan dengan suara.com di kantornya yang asri di kawasan Kebayoran Baru Jakarta Selatan beberapa waktu lalu.

Perjalanannya mendampingi Aqil menjalani sederet terapi mampu membuka matanya, betapa disleksia bukanlah musibah. Tapi ini adalah cara Tuhan untuk hadir ke dalam kehidupan perempuan yang kini berusia 46 tahun ini.

Ia lantas banyak menggali pengetahuan tentang gangguan yang menyebabkan ribuan anak di dunia kesulitan membaca dan berhitung ini. Dan, dalam pencarian itu Lia menemukan betapa kedalaman yang bisa diraih dari pemikiran seorang penderita disleksia seperti Aqil.

Amalia bersama kedua buah hatinya, Aqil dan Satria. (suara.com)

Di usianya yang saat itu belum genap 10 tahun, Aqil telah memiliki kedewasaan yang tak dimiliki anak-anak seusianya. Aqil, ujarnya, adalah pemerhati kehidupan yang sangat detil. Disleksia memang telah membuat Aqil kesulitan membaca dan menulis, tapi enerji dan imajinasinya tersalurkan ke dalam lukisan-lukisan unik lagi bernarasi kuat.

"Horisonnya begitu luas, bahkan sering mengejutkan. Kadang saya tak mampu memahaminya," ujarnya sembari menambahkan semua ini menyadarkannya dengan semua keterbatasan, hidup tetap bisa berwarna dan bermakna.

Dan kini, disleksia telah mengubah hidup CEO PT Havas International ini. Ia tak lagi sekadar perempuan yang berkarir di dunia periklanan, tetapi juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial.

Pengalamannya mendampingi seorang anak disleksia ia tuangkan ke dalam buku "Wonderful Life". Tak hanya itu Wonderfull Life juga ia kreasikan menjadi sebuah gerakan sosial untuk meningkatkan kesadaran disleksia kepada ibu-ibu kelas menengah di banyakkota. Ia juga aktif memperkenalkan metode terapi luar sekolah bagi anak-anak dengan disleksia.

Kini, di sela kesibukannya mengurus kantor dan menemani Aqil menjalani berbagai aktifitas yang harus dijalani Aqil sebagai terapi penyakitnya, Lia juga sering berkunjung ke berbagai kota di tanah air untuk menyebarkan kesadaran tentang disleksia.

Dari perjalanan itu, perempuan yang suka melukis ini sering menemukan kenyataan memprihatinkan. Di mana sangat banyak anak penderita disleksia yang jangankan tertangani dengan benar, bahkan penyakit yang dideritanya pun tak diketahui.

Padahal menurutnya, penanganan yang salah bisa menghancurkan masa depan anak penderita disleksia. Karena ketidak-tahuan, banyak penderita disleksia yang divonis bodoh sehingga bakat lainnya tidak berkembang. Padahal mereka memiliki kemampuan lain yang sering tak tergali hingga ia tumbuh dewasa.

Lantas Lia mengisahkan bagaimana perjuangannya menemukan talenta Aqil dan membangun rasa percaya diri Aqil. Berawal dari sebuah pameran lukisan sederhana yang hanya dihadiri anggota keluarganya, perlahan tapi pasti Lia berhasil mengubah Aqil dari anak yang sangat pemalu karena stigma 'bodoh' yang diterimanya, menjadi Aqil yang bisa menerima kondisinya dan dengan penuh percaya diri mengatakan dirinya adalah seorang penderita disleksia.

Tak hanya itu, karya Aqil kecil telah menghiasi banyak produk usaha menengah kecil. Kisah Aqil juga telah mengilhami banyak pekerja seni untuk dituangkan ke dalam karya mereka.

"Dibutuhkan kesabaran dan pemahaman untuk  menggali dan mengembangkan bakat seorang anak dengan disleksia," ujarnya.

Kenyataan ini menumbuhkan mimpi dalam benak Lia untuk membangun semacam pusat kajian disleksia yang hingga kini belum ada di Indonesia. Ia ingin menghimpun pakar disleksia untuk bersama menangani kondisi ini.

"Bagaimana anak-anak dengan disleksia bisa mendapatkan pendidikan gratis sesuai minat mereka," ujarnya berangan-angan.

Kini, setelah empat tahun bergulat dengan disleksia, hidup Lia telah jauh berubah. Ia bukan lagi Lia yang menuntut perencanaan sempurna dalam segala hal. Tapi Lia yang lebih pasrah pada Sang pemilik kehidupan. Ia kini hanya ingin menyelaraskan rencana hidupnya dengan kehendak Tuhan.

"Ternyata ada batas dalam kemampuan kita," ujarnya menyudahi perbincangan kami.

Amalia dan Aqil bersama pekerja seni yang terilhami karya Aqil. (suara.com)



BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI