Kini, di sela kesibukannya mengurus kantor dan menemani Aqil menjalani berbagai aktifitas yang harus dijalani Aqil sebagai terapi penyakitnya, Lia juga sering berkunjung ke berbagai kota di tanah air untuk menyebarkan kesadaran tentang disleksia.
Dari perjalanan itu, perempuan yang suka melukis ini sering menemukan kenyataan memprihatinkan. Di mana sangat banyak anak penderita disleksia yang jangankan tertangani dengan benar, bahkan penyakit yang dideritanya pun tak diketahui.
Padahal menurutnya, penanganan yang salah bisa menghancurkan masa depan anak penderita disleksia. Karena ketidak-tahuan, banyak penderita disleksia yang divonis bodoh sehingga bakat lainnya tidak berkembang. Padahal mereka memiliki kemampuan lain yang sering tak tergali hingga ia tumbuh dewasa.
Lantas Lia mengisahkan bagaimana perjuangannya menemukan talenta Aqil dan membangun rasa percaya diri Aqil. Berawal dari sebuah pameran lukisan sederhana yang hanya dihadiri anggota keluarganya, perlahan tapi pasti Lia berhasil mengubah Aqil dari anak yang sangat pemalu karena stigma 'bodoh' yang diterimanya, menjadi Aqil yang bisa menerima kondisinya dan dengan penuh percaya diri mengatakan dirinya adalah seorang penderita disleksia.
Tak hanya itu, karya Aqil kecil telah menghiasi banyak produk usaha menengah kecil. Kisah Aqil juga telah mengilhami banyak pekerja seni untuk dituangkan ke dalam karya mereka.
"Dibutuhkan kesabaran dan pemahaman untuk menggali dan mengembangkan bakat seorang anak dengan disleksia," ujarnya.
Kenyataan ini menumbuhkan mimpi dalam benak Lia untuk membangun semacam pusat kajian disleksia yang hingga kini belum ada di Indonesia. Ia ingin menghimpun pakar disleksia untuk bersama menangani kondisi ini.
"Bagaimana anak-anak dengan disleksia bisa mendapatkan pendidikan gratis sesuai minat mereka," ujarnya berangan-angan.
Kini, setelah empat tahun bergulat dengan disleksia, hidup Lia telah jauh berubah. Ia bukan lagi Lia yang menuntut perencanaan sempurna dalam segala hal. Tapi Lia yang lebih pasrah pada Sang pemilik kehidupan. Ia kini hanya ingin menyelaraskan rencana hidupnya dengan kehendak Tuhan.
"Ternyata ada batas dalam kemampuan kita," ujarnya menyudahi perbincangan kami.