Suara.com - Suara "teng-teng-teng-teng" terdengar saat saya memasuki sebuah restoran bernama 'Tera Walk Station'. Bunyi tersebut berasal dari sebuah lonceng yang dibunyikan oleh pelayan, rasanya mirip sekali dengan penanda akan melintasnya kereta lokomotif tua dalam film-film.
Tak sampai satu menit, meja tempat saya duduk pun bergetar, karena sebuah kereta api baru saja melintas dari arah barat ke timur. Ya, restoran ini karena restoran ini terletak tak jauh dari rel kereta api. Kondisi ini dimanfaatkan pengelola hotel, tempat restoran ini berada, dengan membangun sebuah restoran bertema stasiun kuno di tahun 1920an.
Tak hanya itu, restoran yang memanfaatkan ruang kosong Hotel Panghegar Bandung ini juga mirip seperti museum kereta api mini. Dekorasinya dibuat seakan kita sedang berada di sebuah stasiun. Ornamen khas stasiun kereta api seperti lonceng dan mebel berbentuk loket pembelian tiket makin menguatkan kesan itu.
Sementara di bagian dinding atas, berjejer lukisan kereta api tua, lengkap dengan lokomotif berbahan bakar batu bara. Foto-foto lokomotif tua itu seakan bercerita pada para pengunjung tentang sejarah kereta api di masa lampau.
"Karena dekat dengan palang pintu kereta Jalan Merdeka, kita jadi bisa dengar bunyinya dari sini. Nah setiap itu pula, lonceng akan dipukul oleh pelayan kami, sebagai tanda kereta api akan melewati restoran ini. Bunyi lonceng ini juga mengingatkan bahwa zaman dulu, ketika belum ada palang kereta, orang-orang hanya mengandalkan lonceng," jelas Tazki salah satu pemilik yang juga menata interoir 'Tera Walk Station'.
Beberapa kursi dan meja tamu tua yang menghiasi restoran ini, membuat nuansa khas tahun 20 hingga 30an makin kuat. Adapula pemutar piringan hitam kuno di tengahnya. Mesin jahit, radio, gilingan kopi, lampu dan kipas angin turut membawa siapapun yang datang kembali ke masa lalu.
Di sisi lain, berjejer sofa-sofa empuk berwarna merah menyala. Kontras dengan kesan stasiun kereta api di mas lalu. Namun, bila diamati lebih teliti, sofa-sofa ini mirip kursi kereta api kelas ekonomi di Indonesia.
Setelah puas menikmati suasana stasiun kuno di kota kembang yang berada dalam sebuah restoran ini, saya pun mulai menyortir daftar menu. dan, di sana saya menemukan beragam menu dengan tema fusion, yang terdiri dari makanan khas Amerika seperti steak dan burger, atau makanan Asia seperti teriyaki dan Bulgogi, makanan Eropa seperti pizza dan pasta hingga makanan khas Indonesia atau lebih tepatnya khas Palembang, Sumatera Selatan.
"Makanan Indonesia yang dihighlight itu memang Palembang. Ya, kalau Sunda kan sudah banyak sekali. Karena kita berasal dari Palembang, jadi kita juga punya misi untuk memajukan kuliner Palembang agar dikenal banyak orang," terang Tazki.
Ia pun lantas menyarankan saya mencicipi Sup pindang iga sapi, yang langsung saya terima. Dari aromanya, saya bisa langsung merasakan lezatnya iga sapi yang lembut yang berbalut dengan saus nanas ini. Ketika kuahnya sampai di lidah, paduan rasa asam, pedas, dan gurih langsung menyapa.
Adapula El capitan nachos yang terdiri dari tortila chips, saus bolognise dan keju mozarela yang menggoyang lidah saya sambil menikmati lalu lintas kereta api di kota Bandung.
Hidangan Palembang tak lengkap rasanya jika tak ada pempek. Dan, pempek merupakan salah satu menu 'jagoan' Kafe Tera Walk Station. Pengunjung bisa menikmati 5 jenis Pempek yang berbeda, yaitu: Pempek kapal selam, Pempek lenggang, Pempek telur kecil, Pempek lenjer, dan Pempek adaan. Konon, Pempek ini diterbangkan langsung dari Palembang ke Bandung.
Sementara untuk minumannya, saya pun mencoba kesegaran jeruk dalam secangkir kopi yang dinamakan 'Kiss the coffee yang dibanderol Rp25 ribu. Kafe satu ini juga memiliki ragam kopi khas Indonesia berkualitas yang berasal dari Aceh Gayo, Toraja, Bali, Irian hingga Garut.
Tertarik menikmati hidangan khas Palembang di kafe a la stasiun kuno ini? Hidangan di sini berkisar antara Rp20-120 ribu.