"Tambora memberi pesan tentang bencana di Indonesia di masa lalu tidak tercatatkan dengan baik oleh orang Indonesia. Meski bencana tersebut justru menjadi inspiradi Eropa dalam menelurkan karya-karya bersejarah seperti kisah Frankeneisten dan juga temuan sepeda kayuh," kata Ketua Penyelenggara Kuldesak Tambora, Hariadi Saptono, Jumat (17/4/2015).
Aneka acara Kuldesak Tambora di antaranya diskusi ilmiah, pagelaran kesenian dan pameran foto terkait Gunung Tambora. Kegiatan berpusat di Bentara Budaya, Area Jalan Palmerah, Jakarta tanpa dipungut biaya bagi para pengunjung.
Sebagai acara pembuka pada Kamis (16/4/2015) malam, diadakan pergelaran sendratari tentang lima gunung di Indonesia yang memiliki hubungan "saudara" karena kekhasannya masing-masing.
Kendati berbeda, lima gunung itu memiliki sifat sama yaitu merusak dan membangun seusai mengeluarkan materialnya seperti abu vulkanik, lahar dingin, magma dan material lainnya.
Letusan Gunung Tambora pada 1815 tercatat menyebabkan sekitar 91 ribu jiwa tewas. Sebagian besar korban adalah mereka yang saat itu tinggal di sekitar gunung tersebut yaitu masyarakat di area kerajaan Sumbawa, yaitu Sanggar, Tambora dan Pekat.
Hariadi mengatakan kata Kuldesak dalam Kuldesak Tambora diambil dari bahasa Spanyol tentang jalan buntu. Jalan buntu itu, kata dia, diibaratkan maju kena mundur kena. Artinya, masyarakat Indonesia akan tinggal di lingkungan yang serba salah.
"Tinggal di kota terjadi bencana kemacetan, stres dan dinamika perkotaan lainnya. Tinggal di desa terutama pegunungan terancam letusan vulkanik. Di mana saja ada ancaman. Apalagi di Indonesia yang merupakan kawasan cincin api. Hampir tidak ada daerah yang tidak terlingkupi area letusan vulkanik," kata dia. (Antara)