"Untuk melestarikan musik keroncong kita tidak boleh kolot!" Tanpa ragu Sundari Soekotjo menegaskan hal itu, ketika ditanya apa yang harus dilakukan untuk melestarikan musik keroncong yang kini makin dijauhi anak muda.
Itu mungkin sebabnya, dalam acara Keroncong Week yang digagasnya, perempuan yang biasa disapa dengan mbak Unti ini menggandeng sejumlah pemusik dari berbagai genre. Tak hanya jazz, perempuan yang pekan ini akan merayakan ulang tahunnya yang ke-50 ini mengajak penyanyi pop, dangdut atau bahkan rock berduet bersamanya.
Maka pencinta keroncong dibuat berdecak kagum menyaksikan Mbak Unti berduet bersama Yana Yulio, Iman “J Rocks”, Candil, Dira Sugandi, Kunto Aji, Rieka Roeslan, Dewi Gita, Ikke Nurjanah, Indra Aziz, Angel Pieters dan Winda Viska. Dan kali ini penonton tak hanya disuguhi suara merdu ibu satu anak ini, tapi juga lenggang lenggok tubuhnya yang gemulai.
Penyanyi keroncong yang hampir selalu mengenakan kebaya saat tampil ini, tak takut twist musik dari genre berbeda ini akan merusak musik keroncong. Tapi justru membuat keroncong lebih dinamis dan menarik kaum muda.
"Musik keroncong jika dibawakan seperti adanya, bikin takut anak muda," ujarnya dengan aksen bahasa Jawa yang tak bisa hilang.
Ditemui di sela gelaran Keroncong Week pekan lalu, perempuan yang terlahir dengan nama Sundari Untinasih Soekotjo mengatakan, ini semua dilakukan atas masukan putri semata wayangnya, Putri Intan Permata atau yang lebih dikenal dengan nama Intan Soekotjo. Intan sejak kecil sudah bertekad untuk mengikuti jejak sang ibu menyanyi keroncong.
Diakui, tak mudah menjaga keroncong di tengah gempuran musik dari luar. Musik keroncong yang mendayu serta teknik menyanyi yang butuh ketrampilan tinggi ini membuat anak muda 'ngeri' dan menjauhi musik keroncong.
Makanya, ia menekankan pentingnya para pelaku musik keroncong untuk menjemput bola demi merawat musik yang pernah berjaya di tahun 1930an ini. Para pemusik keroncong harus membuka diri pada anak muda yang ingin menekuni musik 'asli' Indonesia ini.
"Terserah pada mereka -anak muda- mau dibikin seperti apa, selama pakemnya tidak dirusak," ujarnya.
Lantas dari bibirnya meluncur penjelasan tentang musik keroncong yang secara umum dibentuk dengan dua buah ukuleles, sebuah cello, seorang pemain guitar dan bass. Jadi twist musik dari genre lain 'tak boleh' meniadakan elemen inti ini.
Sundari juga menyimpan keyakinan bahwa musik keroncong tak akan mati. Hanya saja dari pengalamannya selama lebih hampir 40 tahun menggeluti musik keroncong, musik ini juga tidak akan pernah booming. Penyanyi atau pencipta lagu muda, terus lahir di tengah makin berkurangnya penggemar musik ini.
Maka demi melestarikan musik keroncong, Sundari pun membentuk Yayasan Keroncong Indonesia (Yakin), sebagai ajang kumpul-kumpul pencinta dan pelaku musik keroncong di Indonesia.
Demi menyemai benih cinta pada musik keroncong, Sundari juga tak segan menyambangi sekolah-sekolah di pelosok tanah air yang ingin belajar lebih mendalami musik keroncong. Semua ini dilakukan demi mewujudkan mimpinya, agar Indonesia memiliki sebuah orkestra musik keroncong yang seluruh posisinya diawaki kaum muda.
"Apalagi jika kelompok ini bisa mendunia," ujarnya berangan-angan.
Kecintaan Sundari pada musik keroncong, ditularkan oleh sang ayah Soekotjo Ronodihardjo. Tentara berpangkat letnan satu (alm) yang hobi menyanyi lagu keroncong memperkenalkan Sundari kecil pada musik mendayu-dayu itu. Ia sering mengajak putri keduanya ini menyanyi bersama.
Meski mengaku kerap mengelak saat disuruh latihan, Sundari membantah jika kecintaannya pada musik keroncong karena paksaan. Dia mengisahkan jatuh cinta pada keroncong, ketika menyaksikan penyanyi Waldjinah di televisi. Ia terpesona dengan penampilan penyanyi Jawa ini, dan sejak saat itu bertekad menjadi penyanyi keroncong.
Sundari yang pernah bercita-cita menjadi psikolog ini memang pernah menjajal jalur pop, tapi akhirnya yakin dengan pilihannya di musik keroncong.
“Saya menggeluti musik keroncong karena kemauan sendiri. Musik keroncong mampu memberikan ketenangan dan kepuasan tersendiri yang tidka bisa saya rasakan dari musik lain,” ujarnya memberi alasan.
Untuk mewujudkan mimpinya, Sundari kecil lantas belajar menyanyi keroncong pada beberapa guru. Tahun 1975, saat berumur 10 tahun, ia mulai mengikuti lomba menyanyi keroncong mewakili sekolahnya, SD Halim Jakarta.
Sundari makin yakin dengan jalan yang dipilihnya, setelah pada 1979 ia keluar sebagai juara kedua di ajang juara bintang radio dan TV untuk kategori keroncong dewasa perempuan. Meski untuk itu, ia harus mencuri umur karena sata itu umurnya belum mencapai 15 tahun.
"Kebaya dan sanggul yang saya kenakan berhasil 'membohongi' tim juri. Waktu itu duduk di bangku SMP 80 Halim dan umur saya masih 14 tahun,” ujarnya sambil tergelak.
Juara satu bintang radio televisi diraihnya, empat tahun kemudian. Dan namanya makin dikenal.
Selain menyanyi, Sundari yang meraih gelar sarjana dari IKIP Jakarta ini sempat mengajar kesenian di SMA 38 Jakarta. Namun ini tak bertahan lama, karena ia lebih fokus pada karir menyanyinya.
Tahun 2002 menjadi tahun yang penuh berkah baginya. Pada tahun ini, ia merilis album keroncong asli berjudul "Ingkar Janji" yang menjadi album keroncong asli pertamanya. Album ini berhasil mengantar Sundari menerima keroncong Award 2002 yang diselenggarakan Yayasan Bina Suci dan Radio Republik Indonesia.
Di tahun yang sama, ia juga menerima penghargaan khusus dari dewan kategorisasi di ajang AMI Sharp Award ke-6. Di tahun itu juga, ia berhasil menuntaskan pendidikannya di Universitas Negeri Jakarta (dulunya IKIP).
Setelah itu Unti kembali mengejar cita-cita lamanya menjadi psikolog. Sambil terus beryanyi, ia belajar manajemen Sumber Daya Manusia. Dan pada Februari 2010, ia berhasil mempertahankan desertasinya berjudul "Pengaruh Budaya Organisasi, Perilaku Kepemimpinan dan Kepuasan kerja terhadap Komitmen Organisasi Karyawan PT Pembangunan Perumahan (persero)" dengan yudisium cum laude.
"Saya sengaja belajar manajemen sumber daya manusia karena ingin lebih mengembangkan musik keroncong dengan mempelajari bagaimana perilaku musik keroncong," paparnya.
Kini sambil mengajar Manajemen Sumber Daya Manusia, mbak Unti terus berusaha merawat dan mengembangkan musik keroncong. Ia berharap dengan tidak menjadi kolot, makin banyak anak muda yang menyukai musik keroncong yang sudah menjadi nafas kehidupannya.