Suara.com - Mereka anggun dan elegan. Apapun yang mereka kenakan, entah itu hijab, gaun, ataupun sepatu hak tinggi, membuat mereka tak ubahnya seperti perempuan pada umumnya. Hanya satu hal yang berbeda dari diri mereka, yakni kenyataan bahwa mereka terlahir sebagai laki-laki.
Waria, itulah mereka. Setelah sempat diulas oleh banyak media di tanah air, kisah hidup kaum ini baru-baru ini diangkat oleh jurnalis asing.
Adalah David O'Shea, reporter Dateline yang terjun langsung ke dalam komunitas waria dan mendokumentasikan kehidupan mereka. Dari hasil eksplorasinya, O'Shea menemukan kenyataan pahit yang dihadapi kaum waria di Indonesia.
Selain harus bersusah payah membaur agar bisa di terima di tengah-tengah komunitas masyarakat, kaum waria di tanah air juga kerap jadi sasaran intimidasi kelompok-kelompok keagamaan tertentu yang tidak bisa menerima keberadaan mereka.
Perjalanan O'Shea menguak hitam merahnya kehidupan waria ditayangkan dalam program SBS One, sebuah televisi dari Australia. Dalam program itu, O'Shea mengangkat kisah hidup beberapa waria yang berupaya keras mendapat pengakuan.
Salah satunya adalah seorang waria yang kerap dipanggil Mama Yuli. Mama Yuli adalah tokoh pejuang hak-hak bagi waria di masyarakat.
Sejak kecil, Mama Yuli sudah hidup serba kesulitan. Keluarga yang kurang mampu membuatnya kerap harus rela kelaparan di masa kecilnya.
"Saya menangis setiap hari," kata Mama Yuli.
"Ketika saya bangun saya kerap kelaparan, tak punya makanan. Saya berteriak minta pertolongan. Namun siapa yang menolong saya? Tidak ada," lanjutnya.
Seiring berjalannya waktu, keluarga Mama Yuli mulai menerima keinginannya untuk hidup sebagai seorang perempuan, tidak lagi sebagai lelaki sebagaimana ia dilahirkan.