Teman-temannya menjuluki Devy Suradji sebagai "the flying mom”. Ini karena seperti burung, perempuan yang sejak enam tahun terakhir bekerja sebagai Direktur Marketing World Wide Fund (WWF) Indonesia ini harus sering terbang ke sana ke mari demi tuntutan pekerjaannya.
Dalam setahun ia bisa mengunjungi beberapa negara. Kadang untuk rapat atau seminar, memelihara jaringan, membahas program kerja, negosiasi dengan donor, atau berbagi informasi dengan sesama pegiat WWF.
Bahkan ketika di Indonesia, Devy mengaku tak selalu berada di Jakarta. Dan ketika berada di Jakarta, dia juga tak selalu berada di satu tempat. Begitu sibuknya perempuan yang menggambarkan dirinya sebagai "fun, alive dan happy" ini.
Juga ketika berjanji bertemu dengan saya, di sela persiapan pelaksanaan "Earth Hour 2015" pekan lalu, sejumlah rapat sudah menunggu ibu dua anak ini. Tetapi ia menyempatkan diri meluangkan waktu berbagi kisahnya.
Perempuan kelahiran Jakarta 9 Mei 1970 ini, sempat menghabiskan beberapa tahun masa kecilnya di negeri paman Sam, alias Amerika Serikat. Bersama keluarga, ia mengikuti sang ayah yang sedang menuntut ilmu di sana. Selepas kuliah dari Fakultas Perikanan dari Institut Pertanian Bogor, perempuan yang menyukai warna putih ini kembali ke AS untuk belajar manajemen lingkungan dari University of New Haven, Connecticut, Amerika Serikat.
Setelah dewasa dan bekerja, dia banyak bergaul dengan beragam orang dari aneka bangsa. Jadi tak heran, jika berbincang dengannya seolah kita akan menemukan bahasa Indonesia yang diselipkan ke dalam kalimat-kalimat dalam bahasa Inggris yang terlontar dari bibirnya.
Meski demikian Devy tidak merasa sebagai 'warga dunia' yang kosmopolitan. Ia merasa sebagai orang Indonesia tulen yang bertindak dan bersikap sebagai orang Indonesia. Dan, meski telah melanglang buana, penyuka lagu cinta ini mengaku orang rumahan yang selalu merasa panik setiap kali mempersiapkan perjalanan. Ini karena, Devy termasuk orang yang detil saat merencanakan sesuatu.
Devy juga begitu menghayati perannya sebagai perempuan. Meski hanya betah enam bulan bertahan menjadi ibu rumah tangga, ia merasa harus tetap bisa mengendalikan semua urusan rumah tangga. Termasuk menyiapkan semua kebutuhan suami dan dua putranya.
Itu sebabnya beberapa temannya heran, meski telah memiliki karier dan penghasilan sendiri, ia masih telaten melayani suami. Ini tak lepas dari didikan sang ibu yang menjadi tokoh panutannya, yang selalu menekankan perempuan boleh mengejar karier setinggi langit tetapi tetaplah seorang istri.
Dan keluarga, bagi Devy adalah oase yang memberinya kekuatan. Ketika orang berpikir berat menjadi ibu sekaligus pekerja, baginya keluarga justru menjadi penyeimbang hidupnya.
Suara.com - "Ketika lelah di satu sisi maka ada jalan keluar di sisi yang lain," ujarnya serius.
Karier
Sejak masih duduk di bangku kuliah Devy menyimpan mimpi untuk berkarir di bidang yang bisa memberikan dampak positif bagi lingkungan sekitar. Sebelum bergabung dengan WWF Indonesia, Devy pernah bekerja di PT Surveyor Indonesia selama 8 tahun, 8 bulan, 8 minggu, dan 8 hari. Sebenarnya, Devy pernah tiga kali nyaris bekerja di WWF. Namun baru pada 2009 hal ini terealisasi.
Saat ia masuk WWF, banyak temannya yang meragukan pilihannya. Mereka menyebut langkah Devy sebagai upaya menggarami lautan. Namun Devy, telah bulat dengan tekadnya. Ia menyebut apa yang dilakukannya sebagai upaya menanam benih.
"Kadang benih itu tumbuh subur, kadang mati di tengah jalan. Tapi setidaknya kita berusaha," ujarnya dengan mata menerawang.
Diakui, saat itu tak mudah untuk memperkenalkan WWF kepada masyarakat. Kesadaran masyarakat akan kelestarian lingkungan belum sebesar sekarang. Apalagi saat itu WWF belum banyak dikenal.
Dalam kenyataan sehari-hari, Devy harus menyaksikan bagaimana orang dengan enaknya membuang sampah sembarangan. Atau mereka yang rajin menghamburkan energi.
Namun dengan kerja keras, dan kebulatan tekad, sedikit demi sedikit Devy bersama rekannya bisa mengubah persepsi orang. Kini tak sedikit anak muda yang merasa bangga jika dia go green. Juga semakin banyak perusahaan yang datang padanya untuk mendukung upaya pelestarian lingkungan yang digagas WWF.
Pada akhirnya, Devy menyadari kepedulian pada lingkungan tak bisa dipaksakan. Kesadaran itu harus ditumbuhkan dari hati.
"Yang kita lakukan adalah mempengaruhi mereka untuk berubah lebih ramah lingkungan," tegasnya.
Upaya menciptakan lingkungan yang lebih baik mesti dimulai dari maisng-masing individu. Ia menyebut banyak hal sederhana yang bisa dilakukan untuk itu. Seperti mematikan lampu saat tidak digunakan, mengurangi sampah dan selalu memilah sampah organik dan nonorganik, mengurangi penggunaan kantong plastik atau juga menjadi pembeli yang kritis.
Meski diakui, perilaku ramah lingkungan masih sering dianggap aneh, ia tak lelah menanamkan kesadaran tentang pentingnya menjaga lingkungan.
Selain masyarakat urban ia juga menyebut perempuan dan keluarga memegang penting penting dalam upaya pelestarian lingkungan. Pasalnya, perempuan tak hanya mempengaruhi pengambil kebijakan, tetapi juga menentukan banyak hal sederhana yang berdampak besar pada lingkungan.
"Merekalah yang lebih banyak menentukan konsumsi barang yang berdampak pada lingkungan," tegas perempuan yang masih menyimpan mimpi untuk tidak pensiun dan ingin terus 'berbagi' hingga akhir usianya ini. Maka terbanglah tinggi Devy.