Suara.com - Siang itu, saat melewati Jalan Banceuy, Bandung, Jawa Barat, yang sedang padat-padatnya, mata saya terhenti ketika melihat bangunan tua bertuliskan Aroma Coffee di atas pintunya.
Bangunan tersebut memang cukup ikonik, karena bergaya pecinan zaman Belanda. Deretan jendela kacanya tertutup rapat, namun terlihat dari sana para pekerja sedang mengemas kopi-kopi yang telah diproses.
Di bagian lain, ada satu pintu kecil yang terbuka, di sana terlihat beberapa orang sedang mengantre menunggu kopi pesanannya. Di samping bagian itu, terdapat etalase yang memajang kopi buatan toko Kopi Aroma.
Semerbak harum kopi langsung memenuhi penciuman saat saya semakin mendekat ke toko yang berada di Jalan Banceuy Nomor 51 itu.
Toko Kopi Aroma yang dibangun oleh Tan Houw Sian sejak 1930 ini, hingga sekarang masih dikenal dan memiliki penggemarnya sendiri. Tak hanya warga kota Bandung, tapi juga di kalangan wisatawan lokal dan asing.
Kopi Aroma pun kini telah menjadi buah tangan para wisatawan yang datang ke Kota Kembang.
Ketika saya mengunjunginya, saya pun langsung disambut dengan keramahan Widyapratama, putra tunggal dari Tan Houw Sian, yang kini sebagai pemegang kendali toko kopi itu.
Sosoknya yang bersahaja selalu membuat siapapun senang, tak hanya pembeli, namun juga pegawai toko kopi. Widya sempat bercerita bahwa toko kopi ini nyaris tumbang.
"Saat saya lahir, ayah sudah berusia 53 tahun. Antara tahun 1966 hingga 1970 toko ini hidup tidak, mati tidak,” ujarnya sambil mengajak saya berkeliling dapur pembuatan kopinya.
Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Padjajaran (Unpad) ini pun memutuskan membangun kembali toko Kopi Aroma, dengan bekal ilmu kopi yang ia dapatkan dari Singapura.
Menurutnya, sambil menjelaskan ala tour guide, toko kopi ini menjual dua jenis kopi, yakni robusta dan arabika. Biji kopi arabika didatangkan dari Aceh, Medan, Toraja, Flores, Bajawa, Pangalengan, dan Ciwidey. Sedangkan biji kopi robusta berasal dari Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Temanggung, dan Wonosobo.
Yang paling unik, kata Widya, pengolahan kopi pun masih menggunakan cara tradisional. Mulanya, biji kopi yang masih hijau, dijemur di atas sinar matahari, selanjutnya saat sudah kering, biji kopi disimpan dalam karung goni selama 5 tahun untuk kopi robusta, dan 8 tahun untuk arabika, sebelum akhirnya digarang dan digiling menjadi kopi.
“Proses penyimpanan ini biasanya membuat kopi menyusut tiap tahunnya. Misalnya taro 100 kilo, tiap tahun jumlahnya menyusut sekilo. Bisa saja saya menggunakan mesin yang modern dan cepat, tapi rasanya akan berbeda,” kata Widya.
Setelah disimpan dalam jangka waktu tahunan, selanjutnya kopi digarang dengan mesin khusus peninggalan ayah Widya dulu. Mesin ini bertuliskan '1936', penanda usia pada mesin ini yang tak lagi muda.
"Proses ini memakan waktu dua jam. Kayu bakarnya pun khusus, dari kayu karet. Karena kayu ini tebal dan tahan lama ketika dibakar. Selain itu akan memunculkan aroma sedap pada kopi," jelasnya lebih lanjut.
Selain kenikmatan yang dirasakan, kopi Aroma juga memiliki sejumlah manfaat kesehatan bagi tubuh. Dirinya pun menjelaskan, bahwa kopi arabika cocok diminum oleh penderita darah tinggi dan penyakit jantung, karena kadar kafeinnya rendah.
Sedangkan kopi robusta bisa diminum untuk penderita diabetes. "Kopi robusta juga bisa mengobati luka dengan cara ditaburkan saja di atas lukanya," katanya.
Selain itu, kopi robusta juga sangat cocok untuk penambah tenaga dan keperkasaan. Sementara kopi arabika adalah kebalikannya, diminum untuk mendapatkan ketenangan dan dapat menimbulkan rasa bahagia.
Jika Anda tertarik mencicipi kopi legendaris ini, dijual per 250 kilogramnya dengan harga Rp17.500 untuk jenis arabika dan Rp12.500 untuk jenis robusta. Maksimal pembelian 5 kilogram. “Ini karena produknya limited,” ujar Widya yang tak membuka cabang dimanapun.