Kisah dari Pasar Lama Tangerang (2)

Rabu, 25 Maret 2015 | 07:31 WIB
Kisah dari Pasar Lama Tangerang (2)
Museum Benteng Heritage (suara.com/Dinda Rachmawati)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Jalan-jalan ke Pasar Lama Tangerang, kurang lengkap rasanya jika tak menyambangi Museum Benteng Heritage. Letaknya sebenarnya tak jauh dari Kelenteng Boen Tek Bio, yang sudah saya kunjungi sebelumnya. Namun saya sempat kesulitan menemukan museum itu. Tenda milik para pedagang yang menjual beragam barang menutupi pintu masuk museum ini. Maklum saja, Museum Benteng Heritage itu berada di tengah pasar tradisional.

Setelah akirnya menemukan lokasi museum ini, saya langsung terpana dengan detil menarik pada bagian luar bangunan itu. Ukiran floral berwarna merah terang menyambut setiap orang yang datang berkunjung ke museum milik Lim Cin Peng alias Udaya Halim, seorang keturunan etnis Tionghoa yang sangat peduli pada budaya leluhurnya ini.

Museum ini merupakan hasil restorasi dari sebuah bangunan tua yang diperkirakan sudah berumur ratusan tahun karena dibangun pada abad ke-17.

Untuk masuk ke museum, pengunjung umum harus membeli tiket seharga Rp20 ribu. Sedangkan mereka yang masih pelajar Rp10 ribu, mahasiswa Rp15 ribu. Sementara untuk wisatawan asing dikenai Rp50 ribu.

Koleksi Museum Benteng Heritage (suara.com/Dinda Rachmawati)


Arsitektur tradisional Tionghoa kental terasa di bangunan ini. Dengan ornamen bagian dalam yang bercerita tentang Delapan Dewa (dalam dialek Hokkian disebut Pat Hsian). Hal itu menandakan, bangunan itu dulunya milik keluarga berada.

Beruntung bangunan ini jatuh ke tangan orang yang peduli budaya, sehingga kita berkesempatan untuk meresapi kehidupan Cina Benteng di masa lalu. Bangunan ini menjadi saksi bisu budaya pedagang dari peranakan Tionghoa, Sunda, Banten, Jawa, dan Betawi tempo dulu yang diserap dan berkembang di Tangerang, khususnya di kawasan Benteng ini. Sementara sebagian besar bangunan di sekeliling Museum Benteng sudah dihancurkan dan berubah menjadi rumah toko. Bahkan, beberapa di antaranya dijadikan sarang burung walet.

Wilayah sekitar Museum Benteng pada masa lalu adalah bagian dari Benteng Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang terletak di timur Sungai Cisadane. Sementara sebelah barat bangunan itu menjadi wilayah Kesultanan Banten. Tangerang sendiri di masa itu ditetapkan menjadi penyangga kota Batavia yang disebut Ommelanden.

Oleh penjajah Belanda, pemukim Tionghoa didatangkan ke kawasan Benteng ini sehingga mereka dijuluki dengan Cina Benteng. Namun, orang Tionghoa di Tangerang yang datang kemudian mengakibatkan adanya kawin campur dengan warga setempat. Hal itu terjadi jauh sebelum VOC berkuasa.

Bangunan ini memiliki dua lantai. Di lantai satu, terdapat restoran, tempat gathering serta tempat penjualan suvenir. Sedangkan di lantai dua, kita bisa menemukan berbagai barang antik koleksi museum yang banyak menyimpan jejak sejarah tentang keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia.  

Museum ini menyimpan berbagai barang yang berkaitan dengan sejarah etnis Tionghoa di Indonesia serta berbagai artefak yang menjadi saksi bisu masa lalu.

Kepada setiap tamu yang datang, pemandu akan menceritakan beragam sejarah dan tradisi etnis Tionghoa, seperti asal muasal kecap, Cina Benteng, tradisi sepatu kecil, tradisi pernikahan tradisional Cina hingga alat musik yang dipengaruhi budaya Cina.  Rasanya tak bosan mendengar semua kisah itu. Tetapi matahari yang semakin tinggi, seolah mengingatkan saya untuk menyudahi penjelajahan ke Kelenteng Boen Tek Bio dan Museum Benteng Heritage.

Kebetulan, waktu sholat zuhur pun telah tiba, saya pun sekalian mencari masjid tertua di Kota Tangerang yang konon telah berusia 300 tahun lebih. Tunggu cerita selanjutnya ya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI