Kisah dari Pasar Lama Tangerang (1)

Selasa, 24 Maret 2015 | 08:30 WIB
Kisah dari Pasar Lama Tangerang (1)
Kelenteng Boen Tek Bio yang menjadi penanda Pasar Lama Tangerang (suara.com/Dinda Rachmawati)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Banyak orang berpikir, tak ada yang menarik dari kota Tangerang. Apalagi jika hal ini dikaitkan dengan tujuan wisata. Ya, mendengar kata Tangerang saja, yang terlintas dalam benak adalah kota yang panas, macet, dan penuh dengan pemukiman maupun pabrik.

Namun, setelah mendapat rekomendasi dari seorang teman, ada tempat yang asyik untuk liburan akhir pekan, yang bisa ditempuh hanya dengan jalan kaki, dari satu tempat ke tempat lainnya, saya pun mencoba mengunjungi Pasar Lama Tangerang.

Tangerang hingga saat ini sering disebut sebagai Kota Benteng. Hal ini dikarenakan, pada zaman penjajahan Belanda, di kota di barat Jakarta ini dibangun benteng pertahanan di dekat Sungai Cisadane yang digunakan sebagai benteng pertahanan dari serangan Kesultanan Banten.

Itulah sebabnya mengapa warga yang tinggal di kawasan ini diberi julukan Cina Benteng. Selain berada di kawasan bekas benteng, kebanyakan warga di kawasan tersebut merupakan keturunan etnis Tionghoa yang menempati wilayah itu sejak ratusan tahun lamanya.

Maka tak heran, ketika saya sampai di pasar tradisional tertua yang pernah ada ini, jejak keberadaan etnis Tionghoa sangat terasa. Mulai dari bangunan rumah penduduk yang masih mempertahankan bentuk aslinya, sampai pada makanan yang dijual di kaki limanya.

Di pasar yang merupakan cikal bakal Kota Tangerang ini, saya juga masih melihat sisa-sisa masa lampau dari daerah pecinan tempo dulu.  Jika bisa disebut beberapa di antaranya adalah Kelenteng Boen Tek Bio, Museum Benteng Heritage dan Masjid Kali Pasir.

Menelusuri kerumunan Pasar Lama Tangerang, saya pun disambut dengan beragam kuliner khas yang juga legendaris, seperti asinan, babi asap, sate babi. Tak ketinggalan otak-otak tenggiri yang sedang dibakar, hingga asapnya menghadirkan aroma yang sedap di udara.

Berjalan terus melewati kerumunan pasar yang menjual beragam sayur mayur dan bahan masakan lain, tanpa saya sadari saya telah sampai di depan kelenteng Boen Tek Bio yang berada di sebelah kanan saya.

Boen Tek Bio berarti “kebajikan”. Kelenteng ini dikenal sebagai kelenteng tertua di Tangerang yang diperkirakan sudah berumur 300 tahun. Kelenteng ini hanya sekali direnovasi, yakni pada tahun 1844. Bahkan ketika Indonesia belum merdeka.

Kelenteng ini konon dibangun secara swadaya oleh warga setempat. Pada masanya, warga Tionghoa di Tangerang dan Jakarta bersatu mengumpulkan dana untuk membangun kelenteng tersebut. Pada perjalanannya, makin banyak umat Boen Tek Bio yang beribadah di sini, sehingga kelenteng ini dipercantik hingga menjadi seperti saat ini.

Kelenteng ini merupakan salah satu dari tiga kelenteng besar yang berpengaruh serta berusia tua di Tangerang. Dua kelenteng tua lainnya adalah Boen San Bio dan Boen Hay Bio yang berusia hampir sama.

Memasuki kelenteng tersebut, indra penciuman saya pun langsung dipenuhi dengan aroma asap hio. Karena saya datang di hari Sabtu, maka memang sedang banyak-banyaknya jemaah yang beribadah. Mereka sangat khusyu dalam berdoa.

Di area belakang kelenteng Boen Tek Bio juga terdapat sebuah vihara yang bernama Vihara Padumuttara. Tempat peribadatan umat Buddha itu besar dan bersih. Saya bisa merasakan kesejukan ketika berada di dalam vihara ini, sehingga saya betah berlama-lama di sana.

Sejenak saya hanyut dalam ketenangan yang dihadirkan di vihara itu. Sebelum akhirnya saya sadar, masih banyak tempat yang harus saya sambangi. Belum lagi sederet makanan yang ingin saya cobai siang itu.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI