Suara.com - Menjadi dokter memang cita-cita Michael Triangto sejak kecil. Keinginan kuatnya inilah yang kemudian membawanya kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta hingga menyabet gelar dokter umum pada 1987.
Setelah lulus, ia menjalani wajib kerja sarjana di RS Hative-Otto Kuyk, Ambon, Maluku, hingga 1990. Belum puas dengan gelar dokter umum yang telah dikantonginya, Michael lalu menimba ilmu lagi dengan mengambil spesialisasi kedokteran olahraga. Namun sebelumnya ia mengaku pernah tertarik menjadi dokter spesialis kandungan.
Sayangnya saat menjalani tes, Michael dinyatakan tak lulus. Di situlah lelaki kelahiran Jakarta 28 Oktober 1959 ini, kemudian memilih untuk menjalani tes spesialis kedokteran olahraga di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) dan diterima. Ia pun berhasil menuntaskan studinya itu pada 1987.
“Memang sudah jalan hidup saya sepertinya, tak bisa jauh dari dokter dan dunia olahraga, karena sejak kecil saya memang ingin jadi dokter dan hobi olahraga terutama bulutangkis. Kedua hal inilah yang kini telah menyatu lewat profesi saya,” cerita Michael saat ditemui suara.com di kliniknya, Slim+Health, Sport Therapy di Mal Taman Anggrek, Jakarta, belum lama ini.
Jadi Tim Medik Atlet untuk Kejuaraan Lokal Hingga Dunia
Meski dulu banyak yang meragukan pilihannya itu lantaran kedokteran olahraga dianggap tidak memiliki prospek yang cerah, Michael berhasil membuktikan bahwa anggapan tersebut tidak benar. Ia justru bisa keliling dunia dan memiliki banyak pengalaman berharga justru berkat profesinya itu.
Bagaimana tidak, Michael pernah bergabung dalam tim medik Pengurus Besar (PB) Ikatan Sport Sepeda Indonesia (ISSI) untuk Sea Games 1993 dan Kejuaraan Asia di tahun yang sama.
Kemudian, Michael bergabung dalam tim medik pada Pusat Ilmu Olahraga (PIO)-Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) untuk Asian Games X11 Hiroshima, Jepang. Tak hanya sampai di situ, ia juga pernah bergabung sebagai anggota tim medik untuk Piala Thomas dan Uber di Jakarta pada 1994, di Hongkong 1996 dan 1998, juga di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 2000.
Yang tak kalah membanggakan adalah saat Michael terpilih menjadi anggota tim medik untuk tim bulutangkis Kejuaraan Dunia 1997 dan Sudirman Cup di Glasgow, Inggris, dan di Kopenhagen 1999. Ketika Olimpiade digelar di Sydney, Australia, pada 2000, ia pun masuk dalam anggota tim medik kontingen bulutangkis Indonesia.
“Sudah banyak sekali negara yang saya kunjungi berkat profesi saya sebagai dokter olahraga. Jadi, ini benar-benar sebuah kebahagiaan dan kepuasan tersendiri yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Ada banyak pengalaman berharga yang saya petik dari situ,” ujar sulung dari tiga bersaudara ini bersemangat.
Selama menjadi anggota tim medik untuk para atlet, Michael bekerja sama dengan tim yang terdiri atas fisioterapis dan akupunktur. Tugasnya memantau gizi, kondisi fisik, dan peningkatan performa atlet, serta pencegahan cedera dan penanganannya hingga memastikan kondisi pemain seratus persen fit menjelang kejuaraan.
Promosikan Terapi Olahraga untuk Kesehatan
Di luar urusan atlet, Michael juga menangani pasien. Bedanya, saat menangani pasien ia lebih menekankan pada langkah promotif dan preventif. Menurutnya, inilah letak menariknya profesi sebagai dokter olahraga.
Bila dokter pada umumnya hanya mengobati orang sakit, tetapi dokter olahraga justru lebih menekankan pada upaya agar orang tidak sakit. Tak heran bila upaya yang dilakukan pada pasiennya berupa program olahraga sesuai kebutuhan dan kemampuan setiap orang yang disebutnya Sport Therapy untuk mengatasi keluhan kesehatannya.
’’Jadi, saya tidak memberi resep obat. Misalnya, orang dengan riwayat keluarga menderita diabetes. Meski dia belum diabetes, tindakan preventif sudah dilakukan dengan pengaturan pola makan dan olahraga yang tepat. Di situlah saya bertugas memilihkan olahraga untuk orang itu,’’ ujar dokter yang juga berpraktik di RS Mitra Kemayoran, Jakarta, sejak 1998 ini.
Selain diabetes, kebanyakan pasien yang datang ke kliniknya adalah mereka yang mengalami obesitas, kolesterol tinggi dan kelainan tulang punggung berupa lengkungan yang disebut skoliosis.
Namun, dalam kondisi tertentu dimana obat memang satu-satunya solusi terbaik, Michael barulah meresepkan obat sebagai penunjang sports therapy seperti untuk pasien obesitas di atas 100 kilogram.
Tidak gampangnya Michael dalam meresepkan obat, karena tubuh manusia sebenarnya memiliki kemampuan untuk menangkal sekaligus mengatasi berbagai gangguan kesehatan pada titik tertentu. Inilah yang menjadi alasannya mengapa ia lebih menekankan pada upaya pencegahan melalui pengaturan pola makan, gaya hidup dan olahraga.
’’Kecenderungan masyarakat saat ini ‘kan makin peduli terhadap kesehatan. Inilah yang membuat mereka melakukan upaya untuk mencegah sakit sehingga tidak perlu minum obat. Salah satunya olahraga secara tepat,’’ terang lelaki yang gemar membaca komik dan buku-buku motivasi ini.
Sesibuk Apapun Keluarga Tetap Prioritas
Lantas, di tengah berbagai kesibukannya itu, masih adakah waktu untuk dirinya sendiri maupun keluarga? “Tentu saja ada dong, bahkan memang saya sediakan waktu khusus untuk itu,” ujarnya tersenyum.
Karena bagi Michael, sesibuk apapun keluarga tetap di atas segala-galanya. Ia memaparkan dalam seminggu, ada hari-hari tertentu misalnya, setiap Selasa, Sabtu dan Minggu dikhususkan untuk keluarga tercintanya.
“Jadi, Senin masuk kerja, Selasa libur lagi. Biasanya saya ajak istri makan siang dan malam hanya berdua saja. Kalau Sabtu dan Minggu, barulah lengkap bersama kedua anak saya,” jelas suami dr. Meidimarjanti Husain, Sp. KFR ini.
Aktivitas yang sering dilakukan bersama keluarga saat menikmati waktu libur adalah makan bersama, jalan-jalan ke pusat perbelanjaan atau liburan ke luar kota bahkan luar negeri. “Saya paling senang berburu kuliner bersama istri bila anak-anak punya acara masing-masing. Bandung biasanya jadi target untuk berburu makanan enak, selain jaraknya juga nggak terlalu jauh,” terang penyuka steak ini.
Untuk olahraga, Michael mengaku meski kini jarang latihan bulutangkis yang merupakan olahraga favoritnya, ia rutin melakukan treadmill dan angkat beban setidaknya dua sampai tiga kali dalam seminggu.
Itulah sisi lain kehidupan seorang Michael Triangto yang tetap membutuhkan keseimbangan dalam hidupnya agar tetap berjalan selaras dan harmonis.