Suara.com - Buah pinang bagi masyarakat asli Papua merupakan buah yang sangat digemari secara turun temurun.
Tak hanya dipercaya bisa membuat gigi kuat. Sering mengunyah pinang, khususnya bagi para perempuan, pun diyakini bisa membersihkan area kewanitaan.
Tak ayal, hampir di seluruh sudut Kota Jayapura, bisa dijumpai masyarakat dengan mulut yang berwarna kemerahan.
Sayangnya, aktivitas mengunyah pinang yang dicampur sirih dan kapur terkadang menimbulkan kesan tak enak. Dimana, sebagian mama-mama suka membuang ludah warna merah secara sembarangan.
Bagi mereka yang tidak biasa dengan kebiasaan itu, boleh jadi kesal. Misalnya, ada mama-mama yang menumpang angkutan kota, lalu dari dalam mobil tiba-tiba membuang ludah lewat jendela mobil tanpa memperhatikan pengendara sepeda motor di sampingnya.
Menanggapi kebiasaan itu, Ketua Lembaga Masyarakat Adat Provinsi Papua Lenis Kogoya mengatakan mengunyah pinang tak bisa dihilangkan begitu saja. Bukan saja karena sudah menjadi budaya, tetapi telah menjadi "teman setia," mulai dari ketika mereka berjualan di pasar hingga pertemuan penting, bahkan di dalam kantor.
"Jadi ada yang pakai tas digantung di depan dada (noken) itu isinya pinang semua," kata Lenis kepada suara.com beberapa waktu lalu.
Soal ludah pinang yang dibuang sembarangan sehingga menimbulkan kesan jorok, menurut Lenis semua kembali pada kesadaran diri masyarakat. Budaya boleh dipertahankan, namun sebaiknya tetap mengedepankan etika, katanya.
"Kalau sudah membuang ludah pinang sembarangan itu kembali pada etika. Sedih juga kalau jalan-jalan jadi kotor karena ludah pinang, itu kesannya jorok. Jadi kembali lagi bagaimana kesadaran diri kita membuang ludah pinang itu tidak sembarangan," katanya.
Selain kesadaran diri, kata Lenis, peran pemerintah juga diperlukan untuk membuat peraturan daerah tenang larangan membuang ludah pinang di sembarang tempat.
"Jadi kalau ada yang kedapatan membuang ludah pinang sembarang bisa dikenakan sanksi. Dan ini menjadi tugas pemerintah," katanya. (Lidya Salmah)