Suara.com - Balai Konservasi Borobudur (BKB) terus memantau kebocoran dinding Candi Borobudur pada musim hujan dan jika terjadi kebocoran akan dilakukan perbaikan pada saat kemarau.
"Pada musim hujan seperti sekarang, kami selalu memantau, apakah air yang ada di dinding candi berasal dari siraman air hujan atau karena ada kebocoran di sekitar batuan dan saluran drainasenya," kata Koordinator Kelompok Kerja Pemeliharaan BKB Yudi Suhartono di Magelang, Senin (9/3/2015)
Candi Buddha terbesar di dunia peninggalan dinasti Syailendra ini setiap tahun dikunjungi sekitar tiga juta wisatawan.
Yudi mengatakan kebocoran terjadi yakni air keluar melalui dinding relief tidak melalui drainase yang ada sehingga akan merusak relief yang ada karena terjadi kelembaban.
"Dampak dari kebocoran, kalau air masuk di sela-sela batu dan keluar ke dinding, maka batu lembab, sehingga tumbuh mikroorganisme seperti lumut, ganggang, jamur, dan bakteri," katanya.
Ia menuturkan kalau tumbuh mikroorganisme otomatis ada proses kimia dan terjadi pelapukan pada batuan. Selaian itu, kebocoran itu juga menimbulkan penggaraman sehingga merusak dinding relief.
Ia mengatakan kebocoran terjadi biasanya karena lapisan kedap air rusak maka perlu dilakukan pembongkaran dan perlu dilakukan pelapisan kembali agar tidak bocor.
"Pembongkaran ini dilakukan orang yang ahli, tidak sembarangan orang dan setiap potongan batu diberi tanda sehingga ketika dikembalikan lagi bisa ketemu," katanya.
Ia menyebutkan tahun ini BKB berencana menangani kebocoran di 12 bidang di sisi utara dan timur candi. (Antara)