Suara.com - Dukun beranak. Bila mendengar nama itu, kita, agaknya kembali ke masa lampau, di mana era pengobatan belum secanggih sekarang.
Tak heran, eksistensi dukun beranak, saat ini, makin jarang terdengar, lantaran kalah bersaing dengan rumah sakit, bahkan bidan.
Tapi di perkampungan Yanggandur, Distrik Sota, Kabupaten Merauke, Papua, dukun beranak, ternyata, jauh lebih populer ketimbang bidan, apalagi rumah sakit.
Kaum ibu --di tempat yang terkenal dengan jeruknya itu, lebih nyaman bila ditangani dukun daripada jasa bidan untuk proses persalinan.
Ditelisik, keberadaan bidan, yang sudah bertugas sejak 2007 di tempat itu dinilai tidak efektif. Selain jumlah yang terbatas, bidan juga dianggap kurang maksimal melayani para pasien.
Demikian dikatakan Magdalena Ndiken, 54, perempuan yang telah 15 tahun lebih berprofesi sebagai dukun.
"Jadi dukun beranak sendiri sebetulnya sudah turun temurun. Keluarga saya, bahkan saya sendiri melahirkan bukan di rumah bersalin atau tenaga bidan, tapi dibantu dukun," kata perempuan yang akrab disapa Mama Magda.
"Bidan di sini tidak efektif. Jumlahnya sedikit dan pelayanannya juga tidak maksimal," ujar Mama Magda, yang merupakan perempuan asli Suku Marind Dek itu.
"Jadi warga kurang hormat kepada bidan," dia melanjutkan.
Menggunakan pendekatan spiritual
Diungkapkan Mama Magda bahwa dirinya kerap membantu proses persalinan dan perawatan bayi secara spiritual. Tak cuma itu, dia juga hanya menggunakan peralatan sederhana, tanpa pernah menyentuh benda-benda modern dunia kedokteran.
"Kalau potong pusar bayi, biasanya bidan pakai silet. Tapi Mama cukup dengan bambu yang sudah ditajamkan ujungnya," katanya.
Setelah melahirkan, Mama Magda melanjutkan, ibu dan bayi juga harus dipisahkan dengan ayahnya, sekira 40 hari lamanya.
Dalam momentum tersebut, ibu dan bayi akan diasapi, agar darah kotor pada rahim cepat bersih. "Proses itu juga membuat anak menjadi lebih kuat," dia menerangkan.
"Ada juga ramuan dari daun-daun kampung yang saya berikan untuk ibu yang baru melahirkan. Harus minum ramuan itu agar lebih bersih setelah melahirkan," dia menambahkan.
Soal biaya persalinan, Mama Magda mengaku tak pernah menerapkan tarif. Malah ada satu kasus di mana dia hanya dibayar dengan sekantong pinang dan sirih.
"Ya semampunya saja. Mama tidak pernah patok harga, malah ada yang suka kasih sirih dan pinang saja Mama sudah senang. Kasihan di sini warga kan hanya petani, jadi saling tolong menolong karena namanya satu kampung sudah kayak keluarga," ucapnya. (Lidya Salmah)