Ketika suara.com meminta waktu untuk bertemu, perempuan bernama lengkap Sancaya Rini ini sedang sibuk menyiapkan koleksi terbarunya untuk ditampilkan di gelaran Indonesia Fashion Week 2015. Peraih "KEHATI Award 2009" ini ikut mencelup sendiri batik-batik bermotif batik kontemporer koleksinya.
Dan, saat ditemui di sela pekan mode akhir pekan lalu, perempuan yang biasa disapa mbak Rini ini sedang berbincang santai bersama sejumlah anak muda yang ingin tahu lebih banyak tentang batik dan pewarna alami. Di belakangnya, berderet busana siap pakai berwarna biru koleksi terbaru "Kanna", label pakaian jadi produknya yang menyasar anak muda.
"Saya ingin menularkan kecintaan batik pada anak muda," ujarnya perempuan yang sore itu membalut tubuhnya dengan tunik biru yang dipadu dengan kain tradisional hasil tenunan perajin dari Baduy berwarna senada.
Sancaya Rini merupakan salah satu pengrajin sekaligus pelestari batik di Indonesia. Ia juga dikenal sebagai perintis penggunaan kembali bahan pewarna alami. Dan setelah lebih dari 10 tahun ia menjalankan usahanya, sarjana ilmu pertanian dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini masih semangat untuk menularkan kecintaannya pada batik dan kelestarian lingkungan.
Dalam perbincangan yang sesekali diselingi interupsi pengunjung yang ingin melihat karyanya sore itu, ibu empat anak ini tak bisa menyembunyikan rasa gusarnya, saat mengetahui suku Baduy pun mulai meninggalkan pewarna alami dan beralih ke pewarna sintetis dengan alasan demi kepraktisan. Maka ia rela mencelupkan benang untuk para penenun dari Baduy untuk selanjutnya ditenun menjadi kain.
Diakuinya, proses pewarnaan batik dengan menggunakan pewarna alami memang membutuhkan ketekunan dan kesabaran. Prosesnya lebih lama dibandingkan dengan pewarna kimia, serta dibutuhkan sederet persyaratan lainnya untuk mendapatkan batik dengan warna alami yang bagus.
Untuk mendapatkan pewarna, perempuan kelahiran 11 Agustus 1959 ini, harus terlebih dahulu mengumpulkan bahan yang dibutuhkan, kemudian merebus semua bahan yang dikumpulkan, kemudian diendapkan minimal semalam. Hasil saringan rebusan tersebut yang dijadikan sebagai pewarna alami.
Jenis kain yang digunakan juga tak bisa sembarangan. Harus kain yang dibuat dari serat alami seperti katun, rami, sutera agar pewarna alaminya tahan lama menempel di kain. Dan, pengolahan warna akan menghasilkan warna yang berbeda. Namun kondisi inilah yang membuatnya selalu tertantang untuk menemukan seseuatu yang baru. Makanya, ia tak pernah bosan apalagi lelah untuk terus bereksperimen.
"Dan hasilnya kadang sangat mengejutkan. Kejutan-kejutan inilah yang membuat saya untuk selalu bersyukur tinggal di Indonesia. Kita dianugerahi kekayaan alam yang beragam dan luar biasa kaya," ujarnya.
Perempuan yang memilih jalan hidup secara sederhana ini melanjutkan, di workshop sekaligus kediamannya yang asri di kawasan Pamulang, Tangerang Selatan selalu tersedia berbagai macam daun, kulit kayu, akar, bunga atau kulit buah-buahan untuk bahan eksperimen. Dia antara lain memanfaatkan biji, daun, buah, kulit buah, kulit kayu, kulit kayu hingga rumput-rumputan menjadi pewarna alami.
Diantaranya daun mangga, kecapi, bixa, daun tin, daun pohon jati, kenari, klengkeng, kulit kayu pohon salam, akasia, pinus, secang, indigo. Rini juga memanfaatkan buah-buahan yang dibuang di pasar swalayan, seperti kulit rambutan, mangga, manggis, dan mahkota dewa. Bahkan daun alpukat, mengkudu, dan mimosa, umbi bit, kelopak kembang sepatu, buah jengkol, daun nangka dan kulit batang nangka juga media eksperimen, perempuan yang mempelajari ilmu mewarnai kain secara otodidak ini.
"Alam kita sangat kaya, tapi banyak dari kita yang menyia-nyiakannya dan memilih pewarna kimia yang jelas-jelas merusak alam," sesalnya.
Rini mengaku mengenal batik dari sang nenek. Di masa lalu, sang nenek sering membuat sendiri kain batik untuk keperluan hajatan keluarga, seperti acara sunatan, kawinan dan berbagai upacara lainnya. Namun minat Rini pada batik tak serta merta muncul.
Minat Rini untuk membatik baru muncul saat ia sudah beranjak dewasa. Tepatnya pada tahun 2000an, saat ia hijrah ke Jakarta setelah sebelumnya bertahun-tahun tinggal di Lhokseumawe, Aceh. Rini yang saat itu adalah ibu rumah tangga, ingin mengisi waktu luangnya dengan belajar membatik. Sang suami tak hanya mendukung niat Rini, tapi ia juga memberikan tantangan agar dalam merintis usahanya, Rini tidak menggunakan bahan pewarna kimia, yang limbahnya dapat merusak lingkungan.
Tantangan ini membuat Rini bersemangat mempelajari pewarnaan alami. Dia datang ke Musium Tekstil di Tanah Abang, Jakarta, untuk mendalami pewarnaan alami terutama batik, lalu mengembangkannya dengan mengambil bahan-bahan yang ada di sekitar rumahnya, di Pamulang, Tangerang Selatan.
Awalnya ia hanya menggunakan pewarna secang, indigo dan mahoni. Secang untuk warna merah, indigo warna biru keunguan dan mahoni untuk kuning kecokelatan. Lantas dalam perjalannya ia terus melakukan percobaan sehingga hapal di luar kepala bahan tumbuhan serta warna yang dihasilkan. Kini Rini tak hanya menekuni batik, ia juga mencoba berbagai teknik pewarnaan lain, seperti teknik ikat alias jumputan.
"Meski warna yang dihasilkan tak persis seperti perkiraan, tapi secara garis besar bisa disebutkan seperti itu," terangnya.
Ia menambahkan, batik yang menggunakan pewarna alami memiliki kekhasan. Warnanya tak terlalu mencolok dan hasil pewarnaannya tak ada yang benar-benar sama. Tapi keunikan inilah yang justru membuat batik dengan pewarna alami banyak dicari orang.
Meski diakuinya, tanpa passion tak mudah menjalankan usaha ini. Ia mengisahkan di awal usahanya, ia sempat mempekerjakan 20 orang untuk bekerja di workshop "Creative Kanawida" dan "Kanna" miliknya. Ia juga menggandeng pengrajin dari berbagai daerah untuk memasok bahan batik dari berbagai serat, seperti serat nanas, rami dan sutera.
Namun, kini tinggal menyisakan enam orang pekerja yang mengerjakan pembatikan, mencelup hingga menjahit. Rini juga mengeluhkan bahan kain yang makin sulit didapat. Ia mencontohkan, kain dari serat nanas yang kini sulit didapat karena tak banyak orang yang telaten menyambung serat secara manual.
Namun di tengah segala kesulitan ini, Rini kekeuh untuk melanjutkan usahanya. Bahkan ia bermimpi batik dengan pewarna alami, tak hanya produknya, akan makin diterima anak muda.
"Mimpi saya, anak muda bangga mengenakan batik serta produk lokal lainnya yang ramah lingkungan," ujarnya mengakhiri perbincangan yang berlangsung di sela riuhnya penyelenggaraan pekan mode ini.