Kisah Para Abdidalem Keraton Yogyakarta

Esti Utami Suara.Com
Jum'at, 20 Februari 2015 | 16:15 WIB
Kisah Para Abdidalem Keraton Yogyakarta
Abdidalem Keraton Yogyakarta (supermilan.wordpress.com)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Masyarakat luar Yogyakarta, mungkin penasaran dengan figur abdi dalem. Mengapa mereka mau mengabdikan diri pada Keraton dengan bayaran yang sangat kecil? Ya, masih sangat banyak orang, khususnya warga Yogyakarta, yang ingin menjadi abdi dalem. Itu terbukti dari selalu adanya abdi dalem baru yang diangkat dalam wisuda yang diadakan dua kali dalam setahun. Selain ada yang dinaikkan pangkatnya.

Apa yang mendorong seseorang bersedia menjadi abdi dalem, bahkan hanya dengan "gaji" yang bila dinilai sebenarnya sangat kecil? Salah satu abdi dalem Keraton Yogyakarta, Ariyanto, menuturkan bahwa yang dia cari bukanlah "gaji" atau "upah", melainkan ketenteraman hidup. Dengan menjadi abdi dalem berarti dengan Sultan dan Keraton sehingga selalu merasa diayomi.

"Saya merasa lebih tenteram setelah menjadi abdi dalem. Memang itu sesuatu yang mungkin tidak bisa dipercaya oleh banyak orang. Namun, itu yang saya rasakan," katanya saat ditemui di Keraton Yogyakarta pada Kamis (19/2/2015).

Selain itu, dengan menjadi abdi dalem, laki-laki 41 tahun itu juga merasa kehidupannya menjadi lebih baik, baik dalam bertingkah laku maupun dalam perekonomian keluarga.

"Dulu itu saya sering merasa sombong, 'adigang adigung adiguna'. Sejak menjadi abdi dalem, saya belajar lebih banyak mengenai sopan santun dan 'unggah ungguh'," tuturnya yang menjadi abdi dalem sejak 2005 itu.

Dalam hal menilai rezeki yang dia terima, Ariyanto juga merasa lebih "semeleh", yaitu merasa cukup dengan apa yang dia terima. Dia tidak lagi berpikir berapa uang atau materi yang dia terima.

"Saat saya belum menjadi abdi dalem yang ada di pikiran saya adalah uang. Berapa pun pasti tidak akan terasa cukup," kisahnya.

Lalu, berapa "gaji" yang dia terima sebagai abdi dalem? Ariyanto mengatakan "gaji" yang dia terima disebut "paringan dalem" atau pemberian Keraton. Untuk abdi dalem punakawan seperti dia, menerima Rp10 ribu setiap bulan.

"Besar kecilnya tergantung jenjang masing-masing abdi dalem. Semakin tinggi jenjangnya tentu semakin besar," jelas abdi dalem yang memiliki nama pemberian Keraton Anto Pawoko itu.

Bagaimana mungkin uang sebesar itu cukup untuk membiayai keluarganya? Ari mengatakan abdi dalem biasanya memiliki pekerjaan lain di luar Keraton. Dia misalnya, bekerja sebagai tenaga keamanan di salah satu kompleks perumahan di Yogyakarta.

Abdi dalem hanya diwajibkan "sowan" atau datang ke Keraton setiap 10 hari. Setiap kali sowan, mereka harus menjalankan tugasnya masing-masing di dalam Keraton selama 24 jam.

Karena itu, mereka tetap bisa memiliki pendapatan dari pekerjaan mereka di luar Keraton.

Tentang rasa tenteram yang dia rasakan sebagai abdi dalem, Ari mengatakan hal itu tidak akan dia dapatkan apabila pikirannya masih terpaku pada materi.

"Kalau menjadi abdi dalem hanya setengah-setengah, misalnya masih memikirkan pekerjaannya di luar Keraton, pasti tidak akan merasa tenteram bahkan tidak akan lama menjadi abdi dalem," katanya.

Melaksanakan budaya Penghageng Kawedanan Hageng Panitrapura Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat GKR Condrokirono mengatakan abdi dalem setelah menerima "kakancingan" memiliki tugas untuk melaksanakan budaya.

"Jangan sampai 'kakancingan' yang sudah diberikan Keraton disalahgunakan. Saya telah menemukan beberapa kasus penyalahgunaan, 'kakancingan' dimanfaatkan untuk hal yang tidak baik," kata GKR Condrokirono seusai acara wisuda abdi dalem Keraton Yogyakarta, Kamis (19/2/2015).

Karena itu, kepada abdi dalem yang diwisuda, baik yang baru maupun yang lama dan naik pangkat, GKR Condrokirono berpesan agar "kakancingan" yang diterima digunakan dengan sebaik-baiknya.

Terhadap penyalahgunaan "kakancingan" yang sudah diketahui Keraton, GKR Condrokirono mengatakan sudah dilakukan tindakan tegas.

"Semua itu kan ada konsekuensinya," ujarnya.

Pada bulan Bakdamulud, Keraton Yogyakarta mewisuda 210 abdi dalem yang terdiri atas 102 abdi dalem kaprajan dan 108 abdi dalem punakawan. Di antara abdi dalem yang diwisuda terdapat beberapa abdi dalem baru.

Selain itu, ada juga beberapa pegawai pemerintahan di lingkungan pemerintahan provinsi dan kabupaten-kota di Daerah Istimewa Yogyakarta.

"Ada yang guru, profesor, ada juga yang polisi. Pegawai pemerintahan termasuk dalam abdi dalem kaprajan," tuturnya.

Salah satu abdi dalem baru yang diwisuda adalah Eko. Dia merupakan pegawai Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Gunung Kidul sehingga diwisuda menjadi abdi dalem kaprajan dengan nama Mas Bekel Sastrowinangun.

Dengan menjadi abdi dalem, laki-laki 29 tahun itu berharap bisa mendapatkan berkah dalem dari Sultan dan Keraton.

"Selain berharap berkah dalem, tujuan saya menjadi abdi dalem adalah menjadi abdi budaya. Kemudian dari segi umur, saya berharap bisa mengabdi sampai tua," kata Sarjana Seni Tari itu.

Eko menuturkan dia menjadi abdi dalem atas keinginan sendiri. Dia mendaftarkan diri pada bulan Syawal dan lolos setelah proses administrasi. Ketika ditanya tentang perasaan saat diwisuda, Eko mengaku gugup. Apalagi ketika namanya disebutkan dan dipanggil untuk menerima "kakancingan".

"Saat duduk sudah konsentrasi penuh, begitu maju 'mlaku ndodok' (jalan jongkok, Red), semuanya hilang. Tambah gugup," kisahnya.

Apalagi ketika doa dibacakan oleh salah satu perwakilan abdi dalem, Eko mengatakan terdapat beberapa bagian yang membuatnya merinding.

"Merinding, tapi tambah semangat, tambah mantap menjadi abdi dalem," ujarnya.

Bukan pembantu Penghageng Tepas Dwarapura Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat KRT Jatiningrat mengatakan abdi dalem bukan memiliki arti pembantu sultan.

"Abdi dalem itu adalah pegawai Keraton. Abdi negara. Jadi tidak ada bedanya dengan pegawai negeri sipil. Bukan 'batur' atau pembantu sultan. Selama ini banyak orang salah pemahamannya," kata KRT Jatiningrat.

Yang membedakan abdi dalem dengan pegawai pemerintahan adalah abdi dalem memiliki tugas menjaga dan melestarikan kebudayaan, khususnya budaya Keraton Yogyakarta. Karena memiliki tugas sebagai penjaga budaya Keraton, maka salah satu persyaratan untuk menjadi abdi dalem adalah bersedia menerima budaya Keraton. Karena Keraton Yogyakarta adalah penerus dari Kerajaan Mataram Islam, maka abdi dalem juga harus bersedia menerima budaya Islam.

"Abdi dalem boleh saja beragama selain Islam. Namun, harus bersedia menerima budaya Islam. Begitu juga dengan budaya Keraton, misalnya membakar kemenyan dan lain-lain," tuturnya.

Selain itu, seorang abdi dalem juga harus bisa menjaga perilaku, baik di dalam maupun di luar Keraton. Abdi dalem dilarang bersikap "adigang, adigung, adiguna" atau menyombongkan diri.  Untuk menghindari penyalahgunaan "kakancingan" dan nama Keraton, abdi dalem juga dilarang keras terlibat praktik perdukunan.

"Karena kalau terlibat perdukunan, dikhawatirkan akan memanfaatkan nama Keraton dan gelar abdi dalemnya," katanya.

KRT Jatiningrat juga mengatakan semua orang bisa mendaftarkan diri menjadi abdi dalem, tidak harus orang Yogyakarta ataupun bisa berbahasa Jawa.

"Abdi dalem Keraton Yogyakarta ada yang Magelang, Temanggung dan lain-lain. Soal bahasa Jawa, yang penting yang bersangkutan mau belajar," tuturnya. (Antara)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI