Semangat guyon pari keno, mengkritik dengan guyonan yang mencerdaskan, yang menjadi ciri khas Teater Gandrik, masih kuat terasa dalam pementasan teater bertajuk "Tangis" di Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta, Rabu (11/2/2015).
Naskah "Tangis" ini meramu dua naskah "Tangis" dan "Juragan Abiyoso", karya alm. Heru Kesawa Murti akhir tahun 1980-an. Peristiwa mutahir yang terjadi di Republik ini dijadikan sebagai aksen tambahan.
Tapi dari sisi artistik, kali ini Teater Gandrik menghadirkan pilihan baru. Tangis yang mulanya diinisiasi sebagai pertunjukan dramatic reading, seperti menemukan jalannya sendiri sebagai teater rakyat yang interaktif.
Tak sekedar menuntut tepuk tangan dan celetukan penonton yang tersentil tema pertunjukan, penonton juga 'dipaksa' terlibat di dalam masalahnya, yang di belahan lain bumi, disebut sebagai “Teater Penyadaran”. Bentuk ini dipopulerkan oleh Augusto Boal.
Tentu saja Gandrik tidak bepretensi mengadopsi Boal, namun semata-mata menyusuri perilaku kreatif. Dan Teater Gandrik bersyukur jika para penonton dan penikmat seni, yang adalah bagian penting dari seni pertunjukan Indonesia, menjadi saksi pencarian organik ini.
“Sudah sejak lama air mata menjadi senjata berbagai rupa, mulai dari trik mendapatkan iba, hingga pintu masuk mendapatkan jabatan. Di dunia politik republik ini, tangis tak jarang diumbar ke publik, dihadapkan ke kamera infotainment, dan bahkan wartawan politik sekalipun bentuk tanggungjawab (palsu) kepada konstituen yang diwakilinya. Moral seperti ini bagaikan virus yang mudah menular karena hasilnya sungguh ciamik. Lumayan, usahanya ringan, dan untungnya banyak,” ujar Butet Kartaredjasa.
Pementasan ini berkisah tentang Sumir, atau tepatnya hantu Sumir, yang menghantui setiap denyut perusahaan Batik Abiyoso. Konon, ia yang bukan siapa-siapa, tiba-tiba meroket kariernya. Namun lenyap seketika sejak memimpin demo buruh batik. Tak ada yang tahu kemana perginya, atau barangkali sengaja dihilangkan.
Sementara itu, perusahan Batik Abiyoso semakin terpuruk karena para pemesan banyak yang mengemplang. Mereka para pemesan itu, tak lain adalah kaki-tangan partai dan perpanjangan tangan para koruptor korupsi di pemerintahan.
Batik-batik pesanan urung dibayar, padahal hutang di bank telah menumpuk untuk membiayai proses produksi. Praktek ini terus berulang dan perusahaan Batik Abiyoso tak kunjung kapok. Namun, memang begitulah rantai korupsi, sambung-menyambung sulit diputus, dilakukan secara terstruktur-masif-terencana.
Hingga kemudian terjadi tragedi besar. Pak Muspro, sahabat Juragan Abiyoso, kepala pemasaran Batik Abiyoso ditemukan gantung diri. Perusahaan batikpun goyah, cerita-cerita lalu dan rahasia perusahaan yang lama terpendam bermunculan.
Kematian Pak Muspro menggelar dengan gamblang rapuhnya perusahaan batik dan kejelekan Juragan Abiyoso. Mental para buruh jatuh dan mengutil di setiap kesempatan, mandor Siwuh menjadi penjilat yang piawai, dan keuangan perusahaan amburadul tidak karuan. Pangajap, anak Juragan Abiyoso, yang hobinya kelayaban dan bersenang-senang tidak peduli dengan apa yang terjadi.
Dia hanya tahu bahwa dia berhak atas jabatan yang ditinggalkan Pak Muspro. Drama ‘Tangis’ pun dimulai, demi mendapatkan jabatan, Pangajab membuat persekongkolan untuk memperburuk kinerja perusahaan yang dipegang oleh Prasojo, anak almarhum Pak Muspro. Ia membuang harga dirinya dengan berlatih menangis, menjadikan tangis sebagai senjata ampuh menyentuh hati ayahnya. Dibantu Siwuh, Pangajab melaksanakan seluruh rencananya itu. Namun sebelum semua hal terwujud, Juragan Abiyoso meninggal dalam kekecewaan dan ketakutan masa lalu. Sedangkan Ibu Abiyoso menjadi gila dan Pangajab masuk penjara karena membunuh teman persengkokolannya.
Perusahaan batik ambruk, dan yang tersisa hanyalah tangis. Dan Sumir, atau hantu Sumir, muncul kembali dalam tangis, sebab ia baru menyadari bahwa Pak Dulang, ayah angkatnya, telah menanamkan benih dendam pada Juragan Abiyoso sejak Sumir masih bayi.
“Tangis telah kami persiapkan selama kurang lebih enam bulan. Merupakan penggabungan dua naskah karya alm. Heru Kesawa Murti yang ditampilkan secara lebih modern dengan menghubungkan peristiwa yang terjadi di tanah air kita ini, namun tetap dikemas dalam guyonan budaya Jawa yang kental dan menghibur," ujar Djaduk Ferianto, yang menangani musik.
Tangis dipentaskan di Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta pada tanggal 11-12 Februari 2015 pukul 20.00-22.30 WIB dan pementasan kedua akan diadakan di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki Jakarta pada tanggal 20 – 21 Februari 2015 pukul 20.00-22.30 WIB. Dengan harga tiket platinum Rp500 ribu, gold Rp300 ribu, wing Rp200 ribu dan balkon Rp100 ribu.