Suara.com - Cincin Saifullah tiba-tiba jatuh saat tengah membongkar selokan air di salah satu perumahan di Curug, Kabupaten Tangerang, Banten akhir pekan lalu. Cincin perak dengan bentuk batu loncongnya mencolok mencuri perhatian.
Lelaki berusia 40-an tahun itu langsung panik begitu cincinnya jatuh ke air. Dia turun ke selokan yang berisi lumpur hitam. Tangannya langsung mengaduk-aduk lumpur. Spontan rekan Saifullah, ikut sigap membantunya. Setelah 2 menit mencari, cincin itu ketemu.
Saifullah langsung naik ke jalan, membersihkan cincinnya dengan air bersih. "Alhamdulillah ketemu, wah kalau nggak ketemu bagaimana ini," kata Saifullah dengan muka panik.
Saifullah mengatakan cincinnya bernama bacan. Cincin dia mempunyai batu berwarna hijau mengkilap. Jika terpapar matahari, kilauan bacan kelabang - begitu Saifullah memberinama cincinnya - makin terlihat terang.
"Ini namanya bacan kelabang. Karena ini ada bercak cokelat kayak kelabang," kata dia.
Bacan milik Saifullah dibeli dengan harga Rp500 ribu awal tahun 2012-an. Sudah lama cincinnya tidak dipakai.
"Ini saya pakai 2 tahun lalu, waktu Bacan booming," kata dia.
Berawal dari Bacan
Tren perhiasan batu di Indonesia mulai ada di sekitar era tahun 70-an atau 80-an. Namun hanya batu-batu tertentu saja yang masuk ke golongan batu permata. Semisal Safir, Zamrud, Ruby, dan Opal. Harganya hingga ratusan juta rupiah.
Sementara di tahun 90-an mulai dikenal istilah batu akik. Penamaan 'akik' hanya ada di Indonesia. Akik ini berasal dari kata jenis batu Agate. Batu agete ini bisa ditemukan di kawasan batuan vulkanik, sungai, atau juga di dalam tanah. Agate biasanya batu yang memiliki formasi atau kecerahan tertentu.
Agete banyak ditemukan di Indonesia, Meksiko, Mesir, Yunani dan Brazil. Jenisnya pun bermacam-macam. Semisal Enhydro Agate yang bercorak seperti air atau gelembung, Turritella agate yang coraknya terbentuk karena penggabungan kerang, Greek agate dari Yunani, dan Polyhedroid agate yang bercorak mineral berbentuk segitiga. Di negara asalnya, batu-batu itu sudah terkenal.
Khusus di Indonesia ketenaran batu akik, terang dan redup. Sekarang tengah terang kembali setelah populer batu bacan. Nama bacan berasal dari nama sebuah pulau di utara Kepulauan Maluku atau di selatan pulau Halmahera yang bernama Pulau Bacan.
Mulai dari bacan, akik mulai akrab di telinga masyarakat desa hingga kota seperti di Jakarta. Sekarang, penjual akik sudah merambah dari gang kecil hingga mall mewah.
Gemologis dari GRI-Lab Adam Harits mengatakan fenomena akik ini unik. Terutama soal alasan seseorang menyukai akik.
"Orang pakai baru itu merasa sebuah kebanggaan. Meski pun batu itu, batu sintetik. Yang penting gue punya batu," lanjut Adam.
Selain itu menurut dia kegemaran akan batu akik saat ini paling tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Bayangkan, tegas Adam, batu akik ini menambah banyak lapangan kerja.
"Belakangan ini mungkin banyak pedagang lokal kan, pedagang batu. Orang yang tadinya di rumahnya banyak tontonan batu. Nggak sadar kalau batu banyak nilainya. Sekarang batu ini bisa tambah mata pencarian mereka," kata dia.
Tempat yang banyak menjual banyak bebatuan akik itu ada di Pasar Rawa Bening, Jatinegara, Jakarta Timur. Di era 90-an, di sana memang menjadi pusat penjualan batu mulia.
"Dulu Rawa Bening, ramai jual batu mistis. Sekarang di Rawa Bening, murni jual batu. Yang harganya Rp30 ribu saja ada kok. Bayangkan 90-an batu apa Rp30 ribu?," ujarnya.