Suara.com - Mata Nuryanti tidak bisa terbuka lebar, hanya segaris saja sore itu. Wajahnya diterpa kepulan asap tipis hasil pembakaran kayu jambu.
Tangan gemuknya merogok tungku yang panjangnya kurang dari 1 meter. Di atas tunggu itu ada bejana berdiameter 10 cm. Sambil mengatur pembakaran kayu, nenek 71 tahun itu memasukkan adonan putih bersih ke dalam bejana cekung.
Nuryanti adalah penjual serabi kampung. Disebut serabi kampung, karena kue berbahan dasar tepung beras itu diolah secara tradisional. Bahkan tanpa tambahan perasa.
Serabi yang tak terlalu manis dipadu dengan kentalnya saus gula merah, membuat cita rasa yang aduhai. Terlebih sensasi gosong di satu sisi serabi. Itu menambah kesan tradisional dan klasik. Sebab, untuk memasak serabi itu, Nuryanti tidak menambahkan minyak atau pun mentega.
"Nanti basi kalau pakai minyak, apalagi mentega. Ini juga nggak lengket kok," kata nenek gemuk itu sembari berusaha mengangkat adonan yang sudah matang.
Ibu 4 anak ini sudah 20 tahun berdagang serabi. Sejak usia 30-an tahun dia hijrah ke Bitung, Kabupaten Tangerang dari daerah kelahirannya di Majalengka, Jawa Barat.
"Bapak kan sudah nggak ada, jadi jualan begini. Yah lumayan lah," kata perempuan yang sudah sulir mengingat alamat rumahnya itu.
Nuryanti tidak menjual serabinya di rumahnya. Atau juga menetap di suatu kawasan. Padahal rumah Nuryanti di Bitung dekat dengan kawasan pabrik dan industri. Sejak 20 tahun lalu, Nuryanti keluar masuk kampung untuk menjajakan serabinya yang dia klaim rasanya sama sejak dulu.
Nuryanti paling sering berjualan serabi di pasar malam yang menjajakan jasa wahana permainan anak-anak. Pasar malam seperti itu biasa disebut komidi putar.
Nama komidi putar diambil dari salah satu wahana permainan yang ada di arena itu. Yaitu sejenis atraksi kuda-kudaan yang bisa dinaiki dan berputar dalam sebuah platform datar. Biasanya pada saat pemutaran diiringi dengan musik.
Pasar malam komidi putar ramai dikunjungi orang. Biasanya pasar malam ini berpindah dari satu kawasan ke kawasan lain, tergantung adanya lahan kosong yang bisa disewa pemilik selama 2 sampai 3 minggu. Namun keberadaan Komidi Putar di Tangerang sudah jarang ditemui.
"Sekarang jarang ada Komidi. Nggak tahu deh, jarang aja," jelas dia.
Berjalan belasan kilometer
Nuryanti bercerita selama belasan tahun selalu mencari informasi keberadaan komidi putar di seputar Kabupaten Tangerang. Dia selalu mendapatkan informasi itu dari beberapa pegawai yang bekerja di komedi putar itu. Entah, kuli, pedagang baju keliling, bisa juga dari sesama pedagang.
"Iya diikutin aja di mana ada Komidi. Kalau di Curug yah Curug, Karawaci yah Karawaci," jelas dia.
Curug dan Karawaci adalah satu nama kecamatan di Kabupaten Tangerang. Jarak dua daerah itu dari rumah Nuryanti sekira 10 km. Dengan menyewa becak, dia membawa sekarung kayu kabakar. Dan satu karung untuk membawa peralatan masak seperti bejana tanah liat, tungku, dan bahan adonan serabi.
"Nenek sendiri aja bawanya. (Anak nggak bantu?) Sudah pada nikah dan kerja," ceritanya.
Sekarang, dia merasa sudah tidak kuat 'mengejar' komidi putar. Badannya yang sudah renta jadi alasan. Bahkan untuk berjalan sedikit saja, Nuryanti mengaku sudah 'ngos-ngosan'.
"(Di Binong ada Komidi tuh nek) Nggak kuat lah sekarang mah. Di sini aja diem," pungkas dia.
Saat ini Nuryanti berjualan di pinggiran Jalan Raya Pusdiklat Pemda, Curug, Kabupaten Tangerang. Sudah 2 bulan dia berjualan di sana. Jalan itu bersebelahan dengan hamparan sawah.
Soal perbandingan keuntungan antara berjualan di pinggir jalan di pasar malam, katanya jauh beda. Di pasar malam, dia bisa menjual 150 serabi yang dia hargai Rp 1.500 persatuan. Itu dalam satu malam.
"Kalau sekarang, yah 70-an lah. Itu kalau dari siang sampai sore aja. Banyak, kalau bulan puasa," kata dia.
Cita rasa serabi klasik
Salah satu pembeli serabi nenek Nuryanti, Isma Sodiqi, mencari cita rasa serabi asli. Sebab kata dia, serabi saat ini banyak dimodifikasi dengan saus durian atau juga dengan tabungan lainya di atas serabi. Seperti ayam atau abon.
"Memang enak sih. Tapi saya cari serabi polos kayak ini. Nggak enek di kalau di makan banyak. Apalagi saosnya asli gula merah," kata dia.
Semasa remaja, ibu 2 anak itu sering menemukan serabi macam Nuryanti di pasar malam. Itu dulu di era 90-an, saat usianya 15 tahun. Sekarang, kata dia, rasa serabi di toko atau tempat khusus serabi sudah berbeda.
"Di mana yah cari serabi di komidi putar? Saya juga bingung. Jarang ketemu. Mungkin karena komedi putar itu sudah jarang ada," tutup Isma.