Menelusuri Jejak Kehidupan Purba di Sangiran

Ardi Mandiri Suara.Com
Selasa, 27 Januari 2015 | 02:41 WIB
Menelusuri Jejak Kehidupan Purba di Sangiran
Ilustrasi
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Jika Anda penasaran dengan teori evolusi dan kaitannya dengan kehidupan manusia dan fauna di Kepulauan Nusantara ratusan ribu atau bahkan jutaan tahun silam atau Anda ingin tahu asal muasal Bangsa Indonesia, datanglah ke Museum Manusia Purba Sangiran.

Di museum yang terletak di Desa Krikilan, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen, Provinsi Jawa Tengah, itu hadir jawaban atas berbagai pertanyaan yang ada di benak Anda tentang bukti-bukti saintifik dari apa yang disebut Teori Evolusi Alfred R.Wallace dan Charles Darwin ini.

Bahkan, jika Anda ingin mengetahui bagaimana Pulau Jawa terbentuk dan dari mana asal usul Bangsa Indonesia setelah kepunahan fauna dan manusia purba yang fosilnya banyak ditemukan di berbagai situs di Pulau Jawa dan Timor, jawabannya pun ada di museum ini.

Bagi mereka yang penasaran dengan "misteri" di balik banyaknya penemuan fosil tengkorak Homo erectus tanpa wajah dan tengkorak di Situs Gua Zhoukoudian, Tiongkok, sehingga memunculkan dugaan bahwa kanibalisme pernah terjadi dalam kehidupan Homo erectus, jawabannya pun ada di sini.

Karena itulah, jika Anda kebetulan berkunjung ke Solo atau melintasi kota itu dalam perjalanan menuju Jawa Timur via Sragen, jangan lupa untuk menyempatkan diri ke museum yang jaraknya hanya sekitar 17 kilometer dari Solo ke arah utara.

Kedudukan Sangiran yang penting dalam sejarah kepurbakalaan Indonesia dan dunia itu menjadi daya tarik wisata edukasi yang agaknya sayang untuk dilewatkan begitu saja.

Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun pernah berkunjung ke museum yang menempati areal seluas 16.675 meter persegi dan terletak sekitar tiga kilometer dari jalan raya Solo-Purwodadi itu.

Dalam kunjungannya ke museum yang memiliki 13.809 koleksi itu pada 16 Februari 2012, Yudhoyono berharap museum yang memiliki tiga ruang pamer utama tersebut dapat menarik banyak wisatawan dan saintis dalam dan luar negeri sehingga penelitian tentang manusia purba dapat berkembang.

"Siapa pun yang berkunjung ke sini (saya harap) akan merasa bangga dan bersyukur akan ada yang bisa diceritakan bahwa negeri kita juga punya peradaban di waktu yang silam," katanya.

Kedudukan museum yang dapat ditempuh dengan sepeda motor, kendaraan pribadi maupun bus antarkota rute Solo-Kalijambe-Sangiran itu tidak hanya bertaraf nasional tetapi juga internasional.

Seperti yang Antara saksikan saat berkunjung ke museum itu pada 23 Januari sore, di kiri-kanan jalan Desa Krikilan menuju kompleks museum, terlihat beberapa baliho berisi informasi tentang Museum Sangiran yang disertai logo Badan PBB urusan Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Budaya (UNESCO).

Di kiri-kanan jalan desa yang dilapisi aspal yang tampak mulus itu, dijumpai pula beberapa toko suvenir yang menawarkan batu-batuan setempat. Namun di beberapa titik di sekitar desa itu juga terpasang papan peringatan dari Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran.

Di papan peringatan yang memuat isi Pasal 26 Ayat (4) dan Pasal 103 UU RI Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya itu tertulis: "Setiap orang yang menemukan Cagar Budaya atau yang diduga Cagar Budaya wajib melaporkannya kepada institusi yang berwenang di bidang kebudayaan, Kepolisian dan/atau instansi terkait paling lama 30 hari sejak ditemukannya." Seterusnya, "Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan temuan dipidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000. Setiap orang dilarang melakukan pencarian Cagar Budaya atau yang diduga Cagar Budaya, kecuali dengan izin Pemerintah Daerah. Setiap orang yang tanpa izin melakukan pencarian dipidana penjara paling singkat 3 bulan dan paling lama 10 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp150.000.000 dan paling banyak Rp1000.000.000." Menurut Warsono, kepala dusun di wilayah Dukuh Ngampon, Desa Sangiran, kesadaran warga di kawasan Situs Sangiran untuk ikut mendukung pelestarian cagar budaya sebagaimana dituntut Undang-Undang Cagar Budaya "sudah cukup baik".

"Warga kita umumnya sudah lumayan sadar dan tahu isi undang-undang itu walaupun ada sebagian yang masih menjual (benda-benda cagar budaya) karena profesinya memang seperti itu," kata lelaki berusia 62 tahun yang sehari-hari bekerja sebagai petani itu saat ditemui Jumat (23/1) sore.

Sementara itu, tampak belasan orang pengunjung di dalam kompleks museum yang dibuka untuk umum selama enam hari dalam sepekan kecuali Senin itu. Tiga di antaranya adalah Wardoyo, Cyndi dan Fitria asal Karanganyar.

"Kami bertiga baru pertama kali ke sini. Awalnya, penasan saja karena sering melihat plang petunjuk jalan bertuliskan Museum Sangiran. Jadi penasaran ingin melihat seperti apa manusia purba itu," kata Wardoyo.

Selain tiga anak muda dari Karanganyar itu, ada juga beberapa kru PT. Televisi Terang Abadi (TATV) yang sedang mengambil gambar di ruang-ruang pameran museum untuk mengisi konten salah satu program acara di stasiun televisi yang bermarkas di Jalan Brigjen Katamso No. 173 Mojosongo, Surakarta, itu.

"Saya pun baru pertama kali ke museum ini," kata Ali Supana, salah seorang kru TATV yang mengaku "asli Solo" ini, saat ditanya tentang seberapa sering dia datang ke museum yang diresmikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu Mohammad Nuh pada 15 Desember 2011 ini.

Tur di Museum Untuk bisa masuk dan melihat berbagai koleksi yang ada di tiga ruang pamer utama museum yang dibangun pada 1980 itu, setiap pengunjung harus membayar retribusi kepada petugas loket sesaat setelah tiba di halaman pintu masuk kompleks museum.

Uang masuk yang harus dikeluarkan setiap pengunjung hanya sebesar Rp5.000 yang terdiri atas retribusi masuk wisatawan domestik Rp3.500 dan retribusi masuk museum Rp1.500. Bagi pengunjung yang datang dengan mobil pribadi, mereka diminta membayar uang parkir Rp5.000.

Setelah semua urusan bayar-membayar selesai, mereka sudah dapat langsung menuju ke lokasi dimana Ruang Pamer I bertema "Kekayaan Sangiran" berada setelah sebelumnya mengisi buku registrasi pengunjung yang dijaga dua orang petugas keamanan (satpam) museum.

Memasuki Ruang Pamer I itu, para pengunjung langsung disuguhi temuan terbaru dua arkeolog Indonesia berupa fosil tulang panggul dan tulang kering gajah purba yang diperkirakan berusia 200.000 - 700.000 tahun yang lalu.

Adapun fosil tulang panggul gajah purba (Pelvis Elephantidae) itu ditemukan Harsono dalam penggalian di selatan Toho pada 17 Maret 2014, sedangkan fosil tulang kering gajah purba (Tibia Elephantidae) ditemukan dalam lapisan Kabuh di daerah Grogolan, Manyarejo, pada 17 Maret 2014 oleh Siswanto.

Di dalam Ruang Pamer I yang relatif luas itu, para pengunjung juga dapat menyaksikan beberapa fosil Gajah Sangiran dan kerbau purba serta tengkorak kepala Homo sapiens, Homo erectus, serta Homo habilis.

Melangkah lebih ke dalam, dijumpai tiga lapisan tengkorak kepala Homo erectus arkaik di mana volume otak manusia purba ini diperkirakan sekitar 870 cc. Adapun fosil hasil temuannya dinamakan "Sangiran 8", "Sangiran 4" dan "Mojokerto, Perning".

Berbeda dengan Homo erectus arkaik, masih di Ruang Pamer I, terdapat penjelasan tentang fosil manusia purba tipe Homo erectus tipik dan Homo erectus progresif yang memiliki volume otak masing-masing 1.000 cc dan 1.100 cc.

Dijelaskan dalam papan informasi bahwa tipe Homo erectus tipik merupakan "bagian terbanyak dari Homo erectus di Indonesia. Sebagian besar ditemukan di Sangiran dan lainnya ditemukan di Trinil (Ngawi), Kedungbrubus (Madiun), Patiayam (Kudus) dan sejak 2011 ditemukan pula di Semedo (Tegal)." Adapun tipe Home erectus progresif merupakan "jenis yang paling maju dan sebagian besar ditemukan pada endapan aluvial di Ngandong (Blora), Selopuro (Ngawi), dan pada endapan vulkanik di Sambungmacan (Sragen)." Dari Ruang Pamer I, para pengunjung dapat meneruskan pencariannya ke Ruang Pamer II bertema "Langkah-Langkah Kemanusiaan" dengan mengikuti petunjuk arah yang ada.

Di Ruang Pamer II, disuguhkan antara lain informasi tentang pembabakan perkembangan bumi serta potret sejumlah saintis dan tokoh asing dan Indonesia yang berperan penting dalam ekskavasi fosil hewan dan manusia purba di Pulau Jawa sejak era Kolonial Belanda hingga kemerdekaan.

Di antara tokoh penting dalam jagat arkeologi manusia purba di Tanah Air itu adalah Alfred R. Wallace, Raden Saleh, F.W. Junghuhn, B.D. van Rietschoten, Eugene Dubois, P.V. van Stein Callenfels, Prof. Dr. T. Jacob, Dr. Herry Widianto, Prof. Dr. R.P. Soejono, Prof. Dr. Truman Simanjuntak, Prof. Dr. S. Sartono, Prof. Dr. Yahdi Zaim dan Dr. Tony Djubiantono.

Berbeda dengan aturan di Ruang Pamer I yang tidak membolehkan para pengunjung menyentuh semua fosil yang dipamerkan, di Ruang Pamer II ini, mereka justru diberi kesempatan untuk menyentuh beberapa fragmen fosil gajah purba berusia setengah juta tahun silam.

"Sentuhlan Aku ... Aku, gajah purba usia 500.000 tahun. Sentuh dan rasakan sensasi kepurbaanku." Demikian isi pengumuman tatkala pengunjuk sampai di satu meja berpasir berisi beberapa fosil gajah purba seperti fragmen tulang rahang atas (Fr. Maxilla Stegodon Sp) dan tulang paha kiri (Femur Sinista Stegodon Sp).

Di Ruang Pamer II ini, para pengunjung yang penasaran dengan kabar tentang kanibalisme dalam kehidupan Home erectus maupun tentang asal usul Bangsa Indonesia setelah kepunahan hewan dan manusia purba di Kepulauan Nusantara akan menemukan jawabannya.

Penjelasan tentang temuan beberapa fosil gajah purba dan kuda sungai yang diperkirakan berusia 1,5 juta tahun di wilayah Provinsi Jawa Barat di situs dekat Bandung dan Subang serta Cisaat dan Cijulang di selatan Cirebon juga ada di ruang pameran berlantai atas dan bawah ini.

Penelusuran di bangunan museum yang dilengkapi maket kawasan berskala 1.200 yang memudahkan pengunjung mengetahui letak gedung utama, kantor, plaza, atrium, gapura, rumah diesel, kios, loket, masjid, toilet, taman, sungai, area parkir dan selasar kompleks museum ini berakhir di Ruang Pamer III.

Di ruang pamer bertema "Masa Keemasan Homo Erectus -- 500.000 Tahun Yang Lalu" itu, para pengunjung mengakhiri penelusurannya dengan mendapat sajian informasi tentang temuan tahun 2003, rekonstruksi tengkorak Sangiran 17 pada 2011 dan manusia purba di Flores yang menghebohkan dunia.

Keluar dari pintu Ruang Pamer III museum yang menyimpan kekayaan situs Sangiran seluas 5.600 hektar itu, para pengunjung -- tak terkecuali Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo -- membawa pulang kesan dalam dirinya masing-masing.

Ganjar Pranowo yang berkesempatan mengunjungi Museum Manusia Purba Sangiran (The Homeland of Java Man) ini pada 24 November 2013 menuliskan kesan dan pesan dirinya di sebuah papan tulis putih.

"Di tempat ini ada banyak misteri kehidupan. Semua orang bisa berlomba-lomba menguji rahasia Tuhan. Adakah yang bisa membuka tabir itu? Adakah kakek nenekku di sini? Tertanda Ganjar Pranowo 24/11/13". (Antara)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI