Menelusuri Jejak Kehidupan Purba di Sangiran

Ardi Mandiri Suara.Com
Selasa, 27 Januari 2015 | 02:41 WIB
Menelusuri Jejak Kehidupan Purba di Sangiran
Ilustrasi
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Seperti yang Antara saksikan saat berkunjung ke museum itu pada 23 Januari sore, di kiri-kanan jalan Desa Krikilan menuju kompleks museum, terlihat beberapa baliho berisi informasi tentang Museum Sangiran yang disertai logo Badan PBB urusan Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Budaya (UNESCO).

Di kiri-kanan jalan desa yang dilapisi aspal yang tampak mulus itu, dijumpai pula beberapa toko suvenir yang menawarkan batu-batuan setempat. Namun di beberapa titik di sekitar desa itu juga terpasang papan peringatan dari Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran.

Di papan peringatan yang memuat isi Pasal 26 Ayat (4) dan Pasal 103 UU RI Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya itu tertulis: "Setiap orang yang menemukan Cagar Budaya atau yang diduga Cagar Budaya wajib melaporkannya kepada institusi yang berwenang di bidang kebudayaan, Kepolisian dan/atau instansi terkait paling lama 30 hari sejak ditemukannya." Seterusnya, "Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan temuan dipidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000. Setiap orang dilarang melakukan pencarian Cagar Budaya atau yang diduga Cagar Budaya, kecuali dengan izin Pemerintah Daerah. Setiap orang yang tanpa izin melakukan pencarian dipidana penjara paling singkat 3 bulan dan paling lama 10 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp150.000.000 dan paling banyak Rp1000.000.000." Menurut Warsono, kepala dusun di wilayah Dukuh Ngampon, Desa Sangiran, kesadaran warga di kawasan Situs Sangiran untuk ikut mendukung pelestarian cagar budaya sebagaimana dituntut Undang-Undang Cagar Budaya "sudah cukup baik".

"Warga kita umumnya sudah lumayan sadar dan tahu isi undang-undang itu walaupun ada sebagian yang masih menjual (benda-benda cagar budaya) karena profesinya memang seperti itu," kata lelaki berusia 62 tahun yang sehari-hari bekerja sebagai petani itu saat ditemui Jumat (23/1) sore.

Sementara itu, tampak belasan orang pengunjung di dalam kompleks museum yang dibuka untuk umum selama enam hari dalam sepekan kecuali Senin itu. Tiga di antaranya adalah Wardoyo, Cyndi dan Fitria asal Karanganyar.

"Kami bertiga baru pertama kali ke sini. Awalnya, penasan saja karena sering melihat plang petunjuk jalan bertuliskan Museum Sangiran. Jadi penasaran ingin melihat seperti apa manusia purba itu," kata Wardoyo.

Selain tiga anak muda dari Karanganyar itu, ada juga beberapa kru PT. Televisi Terang Abadi (TATV) yang sedang mengambil gambar di ruang-ruang pameran museum untuk mengisi konten salah satu program acara di stasiun televisi yang bermarkas di Jalan Brigjen Katamso No. 173 Mojosongo, Surakarta, itu.

"Saya pun baru pertama kali ke museum ini," kata Ali Supana, salah seorang kru TATV yang mengaku "asli Solo" ini, saat ditanya tentang seberapa sering dia datang ke museum yang diresmikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu Mohammad Nuh pada 15 Desember 2011 ini.

Tur di Museum Untuk bisa masuk dan melihat berbagai koleksi yang ada di tiga ruang pamer utama museum yang dibangun pada 1980 itu, setiap pengunjung harus membayar retribusi kepada petugas loket sesaat setelah tiba di halaman pintu masuk kompleks museum.

Uang masuk yang harus dikeluarkan setiap pengunjung hanya sebesar Rp5.000 yang terdiri atas retribusi masuk wisatawan domestik Rp3.500 dan retribusi masuk museum Rp1.500. Bagi pengunjung yang datang dengan mobil pribadi, mereka diminta membayar uang parkir Rp5.000.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI