Musik Sasando dari pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, menarik perhatian pengunjung Paviliun Indonesia pada pameran pariwisata tahunan terbesar di Belanda, Vakantiebeurs 2015 di Jaarbeurs, kota Utrecht yang berlangsung sejak tanggal 13 Januari lalu.
Orang Rote menyebutnya sasandu, artinya alat yang bergetar atau berbunyi. Atau dalam bahasa Kupang sering menyebutnya sasando, alat musik berdawai yang dimainkan dengan cara memetik senda atau dawainya. Konon sasando telah digunakan di kalangan masyarakat Rote sejak abad ke-7.
Bahan utama sasando adalah bambu yang membentuk tabung panjang yang dipasangi senda yang direntangkan mengelilingi tabung bambu. Senda inilah yang memberikan nada yang berbeda-beda pada setiap petikan senar. Tabung sasando ini ditaruh dalam sebuah wadah yang terbuat dari anyaman daun lontar yang disebut haik. Haik inilah yang berfungsi sebagai resonansi sasando.
Ada beberapa versi ceritra rakyat yang mengisahkan tentang awal kelahiran sasando, diantaranya cerita tentang seorang pemuda bernama Sangguana di pulau Ndana. Kemudian oleh penduduk sekitar, ia dibawa ke hadapan raja Takalaa.
Inilah awal mula pertemuan Sangguana dengan putri raja. Sangguana pun jatuh cinta pada sang putri, namun raja mempunyai syarat untuk menerima Sangguana. Sangguana diminta raja untuk membuat alat musik yang lain dari yang lain.
Alat musik dengan tujuh dawai yang dihasilkan Sangguana inilah yang lantas disebut dengan sasando. Secara fungsi dan pemakaiannya, sasando biasanya dimainkan untuk mengiringi nyanyian, menirukan nyanyian, mengiringi pembacaan syair daerah Rote juga untuk mengiri tari, menghibur keluarga yang berduka dan yang sedang mengadakan pesta. Tak ada syarat atau ritual khusus untuk bisa memainkanya. Siapa pun bisa belajar untuk memainkannya.
Sasando yang awalanya berdawai 7 (pentatonik) kemudian berkembang menjadi alat musik petik pentatonik dengan 11 (sebelas) dawai. Lantas di akhir abad ke-18 sasando mengalami perubahan, dari sasando gong ke sasando biola.
Sasando biola lebih berkembang di Kupang. Dinamai sasando biola karena nada-nada yang ada pada sasando meniru nada pada biola. Nadanya diatonis dan bentuknya mirip sasando gong tetapi bentuk bambu dan diameternya lebih besar dari sasando gong dan jumlah dawai pada sasando biola lebih banyak, awalnya 30 nada kemudian berkembang menjadi 32 hingga 36 dawai.
Kehadiran delegasi Indonesia dipimpin Direktur Promosi Pariwisata Internasional, Kementerian Pariwisata Nia Niscaya, dalam pameran pariwisata yang diikuti sekitar 1200 exhibitor dalam upaya menarik wisatawan Eropa khususnya Belanda, demikian Sekretaris II fungsi Ekonomi KBRI Denhaag Aditya Tomoranto kepada Antara London, Minggu (18/1/2014).
Selama pameran, Paviliun Indonesia selain dimeriahkan dengan penampilan musik sasando juga tarian tradisional Indonesia yang dibawakan Tim Wonderful Indonesia dari Kementerian Pariwisata. (Antara/kebudayaanindonesia.net)