Suara.com - Sore itu sekumpulan ibu-ibu di Bantaran Kali Manggarai sedang sibuk menjahit kain yang akan diolahnya menjadi sebuah tas. Namun mereka tak sendiri, ada sekelompok anak muda yang mendampingi mengerjakan karya tersebut.
Tak ada raut lelah dari wajah sekelompok ibu-ibu ini. Sesekali mereka melempar guyonan yang membuat semua tertawa.
Para ibu ini adalah hasil binaan sebuah komunitas yang mengatasnamakan diri mereka dengan sebutan Dreamdelion.
Berbasis Sociopreneur
Adalah Alia Noor Anoviar, perempuan muda di balik pergerakan komunitas yang berdiri sejak 2012. Di tengah problematika bangsa, komunitas ini fokus untuk meretas masalah sosial dengan pendekatan yang berbeda.
Tidak dengan demo, para anggota yang kebanyakan terdiri dari mahasiswa ini terjun ke daerah terpinggirkan untuk langsung membantu masyarakat dengan pendekatan berbeda, yakni pendidikan, kesehatan dan ekonomi.
“Awalnya saya membuat komunitas ini ketika kuliah di Semester 7. Waktu itu sedang banyak kasus yang terjadi seperti kasus PT KAI yang memberi dampak ke masyarakat yang tinggal di sekitarnya," cerita Aulia ketika ditemui suara.com baru-baru ini.
Sementara, kebanyakan teman mahasiswa lainnya, lanjut dia, menyelesaikan problem bangsa dengan demo. "Cara yang tidak damai. Saya mikir harus ada pendekatan baru yang dilakukan, salah satunya turun langsung ke masyarakat untuk membantunya,” imbuhnya.
Aulia yang saat itu baru melakukan penelitian di kawasan Manggarai, semakin tergerak untuk mengaplikasikan hasil penelitiannya agar bisa berdampak ke masyarakat luas.
Ia tidak sendiri. Kala itu Aulia dibantu delapan orang temannya untuk menjadikan rencana ini menjadi nyata, dengan mendirikan sanggar belajar untuk anak-anak di Bantaran Kali Manggarai pada 18 Juli 2012.
Kini sanggar belajar itu telah menjadi sebuah komunitas. Alia mengaku komunitas Dreamdelion lebih berbasis pada sociopreneur. Tak hanya menyemangati para anggotanya untuk berbisnis, tapi sekaligus ada misi sosial yang dibawa oleh komunitas ini.
“Dreamdelion adalah sebuah komunitas bisnis sosial di mana kami berusaha mengurangi masalah sosial di masyarakat dengan pendekatan bisnis. Meski profit itu penting, tapi di sini kami lebih mengedepankan untuk meningkatkan benefit pada masyarakat yang kami bina,” imbuhnya.
Berada di lingkungan yang terdiri dari masyarakat marjinal, komunitas ini berdiri bukan tanpa kendala. Sempat ada keraguan dari masyarakat untuk dibina oleh Alia dan anggota Dreamdelion lainnya.
Namun, komunitas ini tak patah semangat. Mereka terus berusaha untuk bisa dekat dengan kelompok kecil yang ada di kawasan ini secara bertahap.
Dulu, kata Aulia, masyarakat di Manggarai sangat resisten dengan kehadiran komunitasnya. Mereka trauma dengan janji-janji mahasiswa yang sebelumnya pernah melakukan penelitian di lingkungan mereka, tapi tidak ada hasilnya.
"Namun kami masuk melalui kelompok kecil, yakni kelompok ibu-ibu dan anak-anak yang senang dengan kehadiran orang baru. Lambat tapi pasti, muncul keterikatan tersendiri antara Dreamdelion dengan masyarakat Kali Manggarai,” kenang Alia.
Pendidikan, Kesehatan dan Kreativitas
Meski Dreamdelion merupakan komunitas berbasis bisnis sosial, mereka juga membentuk program pemberdayaan masyarakat lainnya, seperti Dreamdelion Cerdas dengan pemberian pendidikan bagi anak usia sekolah seperti English Class, program beasiswa dan parenting program bagi para orangtua.
“Kita ingin mengalihkan perhatian anak-anak di sana yang suka bermain, atau setelah sekolah mereka ngamen dan lain-lain, ke perilaku yang lebih positif dengan program-program yang diberikan oleh Dreamdelion,” kata Alia.
Sedangkan program Dreamdelion Sehat bertujuan untuk meminimalisasipersoalan kesehatan dan lingkungan, yang terakhir, Dreamdelion Kreatif berusaha untuk meningkatkan keahlian masyarakat secara tepat sasaran.
Hasilnya, lewat Dreamdelion, ibu-ibu pengangguran di Bantaran Kali Manggarai berhasil membuat produk kerajinan tangan dari barang-barang bekas. Aneka macam produk seperti tas, boneka flanel, boneka wisuda, gantungan kunci, aksesoris, dan berbagai macam jenis souvenir dipasarkan secara online maupun offline.
Setelah berjalan hampir 2,5 tahun, Dreamdelion beranggotakan sekitar 75 pengurus inti, dan 1500 volunteer yang terhitung pernah bergabung dalam komunitas ini. Mereka kebanyakan berasal dari kalangan mahasiswa.
Selain di Jakarta, kini Dreamdelion juga hadir di Yogyakarta dan beberapa kota lainnya di Indonesia. Produk stagen tenun menjadi andalan di Yogyakarta, salah satu desa binaan komunitas Dreamdelion ini juga dinobatkan sebagai desa wisata.
Stagen yang awalnya hanya digunakan sebagai sabuk bagi para ibu-ibu di daerah Jawa, kini bisa ditemukan dalam bentuk tas, tempat pensil, dan aksesoris lainnya.
Perlahan tapi pasti, komunitas ini mulai mewujudkan arti nama Dreamdelion yang berasal dari kata ”dream” dan ”bunga dandelion”. Mimpi sederhana untuk dapat menyebarkan manfaat-manfaat di berbagai wilayah marginal di Indonesia.