Sore itu, Jakarta basah oleh gerimis. Di sebuah tempat belanja di Jakarta, beberapa anak muda tampak mengamati seorang tukang parkir yang tak lengkap kakinya. Tak lama kemudian mereka mendekat dan tanpa babibu, mereka langsung mengangsurkan selembar uang Rp20 ribuan kepada sang tukang parkir.
Sejenak sang tukang parkir terkejut atas pemberian yang tak disangka ini. Senyum lebar pun mengembang di wajahnya. Namun tak berapa lama, beberapa anak muda itu meninggalkan si tukang parkir yang masih tak percaya dengan apa yang baru saja dialaminya.
Peristiwa itu sudah berlangsung lebih dari setahun lalu, tetapi senyum sang tukang parkir masih terekam jelas di benak Dea, salah seorang pegiat komunitas Owlie Project.
"Rasanya tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Terharu campur senang karena bisa membuat orang lain bahagia dengan hal kecil yang kita lakukan," ujar Dea dalam perbincangan dengan suara.com di kantor sekaligus bengkel Owlie Project di kawasan Cipete, Jakarta Selatan beberapa waktu lalu.
Menghadirkan kebahagiaan selama lima detik kepada mereka yang membutuhkan! Itulah semangat yang ingin disebarkan komunitas Owlie Project yang dirintis sejak 2010 dan mulai menetas pada 2012 ini. Caranya, dengan menularkan virus semangat berbagi kepada
masyarakat luas.
Proyek yang dimotori Virginia Josodipoero dan Pandit Sumawinata ini, awalnya dirancang sebagai proyek sosial entrepeneur untuk mahasiswa dan mahasiswi Universitas Sadhuguna Business School, Jakarta.
Di bawah 'bimbingan' Virginia dan Pandit yang merupakan staf pengajar di perguruan tinggi di Jakarta itu, sejumlah anak muda ini menggagas sebuah proyek yang secara fisik diwujudkan dalam bentuk produk bantal cantik berbentuk burung hantu (owlie). Ada filosofi tersendiri di balik pemilihan karakter burung hantu sebagai nama sekaligus maskot dari proyek ini.
"Burung hantu adalah salah satu burung yang bijaksana. Dia tidak banyak bicara, tenang tetapi cermat melihat dan mengamati lingkungan sekitarnya. Ia juga memberikan manfaat, tanpa harus mengumumkannya kepada masyarakat," terang Pandit.
Lantas maskot ini diwujudkan dalam bentuk bantal-bantal cantik, yang ditawarkan untuk diadopsi kepada masyarakat luas. Biaya adopsi yang dikenakan berkisar antara Rp100 ribu hingga Rp250 ribu, tergantung ukurannya. Sebagian dana yang terkumpul dari adopsi ini akan disumbangkan kepada masyarakat yang membutuhkan.
Komunitas Owlie Project punya cara unik dalam berbagi. Mereka tak punya target tertentu ataupun batasan waktu tertentu. Setiap kali uang yang terkumpul dirasa sudah cukup, pasukan Owlie akan menyebar turun ke lapangan berburu mencari orang yang dinilai berhak menerima bantuan.
Dia bisa saja seorang pemulung, penjual gado-gado atau tukang parkir seperti yang dikisahkan Dea di atas. Bantuan yang diberikan biasanya berupa uang tunai dengan besaran berkisar antara Rp25-50 ribu. Bantuan terbesar yang pernah diberikan sebesar Rp800 ribu, yang diwujudkan dalam bentuk kacamata untuk anak seorang penjual ketoprak di kawasan Jakarta Selatan.
"Kami memang tak muluk-muluk, yang penting adalah mengajak anak-anak untuk belajar berempati pada lingkungan sekitarnya," terang Pandit.
Sebarkan cinta
Lalu bagaimana caranya untuk mengadopsi bantal-bantal burung cantik ini? Ada sederet persyaratan yang harus dipenuhi. Si pengadopsi tak hanya harus membayar sejumlah uang tertentu, mereka juga akan menerima sertifikat adopsi.
Selain itu mereka juga harus bersedia memberikan kehangatan dan memberikan cinta yang tak terbatas pada bantal Owlienya. Ini artinya, pembuat Owlie tak akan rela jika si pengadopsi memperlakukan Owlie secara semena-mena apalagi jika menyia-nyiakan boneka itu. Dan ternyata tanggapan masyarakat sangat menggembirakan.
"Dalam waktu tiga bulan setelah diluncurkan, setidaknya 1.200 boneka owlie yang diadopsi secara individual," imbuh Pandit.
Dan para 'orang tua' asuh ini menurut Pandit, mengaku senang bisa berbagi kebahagiaan lewat Owlie. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang memilih Owlie, ketika merasa ada rezeki lebih yang dimiliki.
Dalam perjalanannya, proyek ini dikembangkan menjadi program pemberdayaan ibu rumah tangga di sekitar kantor Owlie. Proses penjahitan diserahkan pada mereka dan bisa dilakukan di waktu luang mereka setelah menyelesaikan pekerjaan rumah tangga.
Sayang kerjasama ini tak bertahan lama, karena ternyata semangat berbagi yang ingin disebarkan pendiri Owlie tak sejalan dengan semangat para ibu. Sebagain dari para mitra ini menuntut agar kerjasama ini diberlakukan secara profesional layaknya sebuah bisnis yang mengejar keuntungan.
Kini Owlie Project diremajakan sebagai sebuah social entrepreneur yang dijalankan para mahasiswa. Desain dan pemasaran mereka tangani sendiri, sementara pengerjaan fisik diserahkan kepada beberapa penjahit yang ditunjuk.
Suara.com - Untuk pemasaran, Owlie Project terus melebarkan sayapnya. Sejumlah perusahaan ataupun komunitas disasar untuk menyebarkan semangat berbagi ini. Sambutannya juga sangat menggembirakan. Fans klub sejumlah tim sepakbola di tanah air bahkan memesan puluhan boneka Owlie untuk anggota mereka.
Keberhasilan Owlie Project ini ternyata diam-diam dilirik sejumlah negara tetangga. Baru-baru ini Owlie diundang untuk menghadiri ASEAN Youth Expo. Awak Owlie Project juga diminta untuk membantu Kamboja untuk merintis proyek serupa di Kamboja. Jadi bisa kok merintis bisnis, dengan tetap berbagi.