Setelah melintasi jembatan, pengunjung akan diarahkan menuju ruang pamer berisi gambar dan diorama, juga ada ruang simulasi gempa dan tempat pengunjung dapat mempelajari sains terkait gempa dan tsunami.
"Namun saat ini tidak bisa dioperasikan karena alatnya rusak," kata petugas museum.
Di tempat itu biasanya pengunjung akan bisa merasakan "getaran gempa", mempelajari gempa dan tsunami dan berbagai peralatan perekam gempa serta sistem kerjanya.
Perjalanan berakhir pada ruang teater semi terbuka dengan tribun dan panggung tanpa dinding dan di seberangnya dikelilingi kolam ikan.
Tempat tersebut biasa dimanfaatkan oleh pengunjung untuk merenung kembali bencana alam yang mengubah wajah politik, sosial dan ekonomi Aceh menjadi provinsi yang lebih terbuka dan damai.
Bangunan museum bila dilihat dari atas, seperti yang terlihat pada maket, merupakan gambaran gelombang laut dan sekaligus sebagai dataran tinggi untuk penyelamatan.
"Sampai dengan 10 tahun lalu kata tsunami tidak saya kenal, demikian pula kebanyakan orang Aceh lainnya. Kini kata tsunami mempunyai makna bagi kami," kata Dr. Edi Darmawan, penyintas yang kehilangan kedua orang tuanya saat tsunami menyapu kampung halamannya.
Kehadiran Museum Tsunami Aceh penting untuk mengenang dan juga menjadi sarana edukasi.
Meskipun ada loket tempat pembelian tiket, tidak ada petugas penjaganya dan pengunjung dapat masuk bebas tanpa membayar. Para petugas akan memandu dengan sukarela.
"Akhirnya saya bisa mengunjungi museum ini, setelah 10 tahun bencana itu berlalu," bisik ibu yang tidak bersedia disebut namanya.