Ini Alasan Untuk Tak Buru-buru Menjadi Ayah

Esti Utami Suara.Com
Selasa, 02 Desember 2014 | 07:54 WIB
Ini Alasan Untuk Tak Buru-buru Menjadi Ayah
Ilustrasi anak (shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Apakah Anda sedang merencanakan memiliki keturunan? Jika ya, mungkin Anda perlu menyimak hasil penelitian yang dilakukan para ahli dari Northwestern University Feinberg School of Medicine, Chicago, AS.  Penelitian yang dipimpin Dr Craig Garfield itu menemukan, lelaki yang terlalu cepat menjadi ayah akan lebih mudah depresi. Dan tingkat depresi tertinggi biasanya terjadi pada lima tahun pertama saat dia menjadi ayah. 

Garfield mengingatkan hasil penelitian ini tak bisa diartikan, menjadi ayah muda berarti ditakdirkan depresi secara klinis. Karena penelitian ini hanya menunjukkan hubungan antara menjadi ayah terlalu muda dan kecenderungan mengalami depresi. 

“Ini hanya menunjukkan kapan kecenderungan depresi itu muncul," jelas Garfield yang sudah lama mendalami ilmu psikologi anak.

Untuk penelitian ini, Garfield dan timnya meneliti data dari 20.000 pasangan muda yang memiliki anak pada tahun 1990an. Setiap beberapa tahun, para partisipan diminta mengisi kuosioner guna menjajagi gejala depresi.

Pertanyaan itu seperti apakah merasa bahagia, lelah atau tak suka dengan kondisi mereka saat ini.  Dari lebih 20.000 responden yang diteliti, sepertiganya memiliki anak di usia 24 hingga 32 tahun. Dan Garfield menemukan tingkat depresi yang dialami seorang ayah berubah seiring waktu.

Menurutnya, sudah banyak penelitian yang mengungkap sindrom pascamelahirkan pada kaum Hawa. Tapi penelitian yang mengungkap dampak psikologis kelahiran seorang anak pada laki-laki masih sangat terbatas.  Dan penelitian ini mengungkap 5-10 persen ayah baru mengalami depresi secara klinis. Parahnya, ketika orang tua mengalami depresi, si kecil cenderung memiliki masalah dalam perilaku.

"Seorang anak yang dibesarkan orang tua yang depresi cenderung mengalami gangguan belajar membaca dan ketrampilan bahasa," terang Garfield.

Namun Garfield mengatakan timnya belum menemukan korelasi antara ayah yang depresi dengan perilaku anak. Hanya saja, ujarnya, ketika orangtua bermasalah, si anak juga ikut bermasalah. Jadi kesehatan mental baik ayah maupun ibu, sangat penting bagi pertumbuhan anak.

Pada ibu muda, penyebab depresi lebih mudah ditebak, yakni stress menangani anak dan perubahan biologis di tubuh mereka. Akibat hamil dan melahirkan juga bisa memicu stres pada perempuan.  Sementara tubuh lelaki memang tak terpengaruh oleh lahirnya si kecil, tapi hidup mereka berubah total.  

Eric Lewandowski, seorang pakar dari Pusat Penelitian Anak dari NYU Langone Medical Center, New York menjelaskan lelaki yang baru memiliki anak, mungkin merasakan tekanan finansial, juga stress dengan kehidupan rumah tangganya.

"Masa transisi ini mungkin sedikit sulit, apalagi jika mereka masih terlalu muda," ujar Lewandowski.

Baik Garfield maupun Lewandowski sepakat, membesarkan anak adalah kerja tim laki-laki dan perempuan. "Dan memahami bagaimana lelaki menghadapi masa transisi ini juga penting," ujar Garfield.

Keduanya menambahkan hingga saat ini belum ada panduan, bagaimana memahami perubahan yang dialami laki-laki yang baru memiliki anak. Sehingga penelitian mengenai hal ini menjadi penting.  Lewandowski mengingatkan pentingnya bagi calon orang tua baru, untuk menyiapkan diri menghadapi kenyataan menjadi orang tua.

"Tak selamanya indah, kadang sulit," ujarnya. (The Guardian)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI