"Republik Cangik" Ketika Panakawan Memilih Raja

Jum'at, 14 November 2014 | 20:35 WIB
"Republik Cangik" Ketika Panakawan Memilih Raja
Gladi resik pementasan
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

"Namaku Limbuk. Arti namaku unik. Limbuk artinya gede. Gede beneran. Perut gede, pantat gede, dan ini (sambil menunjukkan bagian dadanya). Okelah,” kata pemeran Limbuk membuka pementasan “Republik Cangik” oleh Teater Koma di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Kamis (13/11/2014) malam.

Setelah Limbuk puas bertingkah, muncul si mamak yang memperkenalkan dirinya sebagai Cangik, si empunya panggung. Cangik yang berperawakan lebih kurus dan tak pernah lepas dari kacamata ngejrengnya itu dikisahkan sebagai dayang dari Maharaja Surasena dari kerajaan Suranesia. Ialah yang  menjadi tokoh sentral dalam pentas ini.

Alkisah, sepeninggal sang raja Cangik berinisiatif untuk mencari pengganti raja. Ia pun menggelar sayembara.  Dengan ajian sakti dari Maharaja Surasena. Cangik berhasil mengundang tokoh-tokoh besar dari berbagai penjuru dunia wayang untuk ikut bersamanya menjadi juri.



Reputasi mereka tidak main-main, mulai dari perwakilan dewa seperti Batara Narada dan Semar, perwakilan bangsawan seperti Gatotkaca dan Lesmono Mondrokumoro, Raja Kediri yang diwakili Putri Riri Ratri hingga ratu para setan, Permoni.

Ada enam kandidat yang mengikuti pemilihan maharaja ini, mereka adalah Santunu Garu ksatria yang gemar berkuda dan menembak. Dudung Bitung, mantan ksatria sadis yang gemar menembaki siapapun terlebih teroris. Graito Bakari, laki-laki yang dengan bangga mengubah pulau yang ditinggali manusia menjadi penuh lumpur. Binanti Yugama, seorang banci yang dengan logat kebule-bulean dan ingin menjadi maharatu. Kelima, Burama-Rama pedangdut berambut kriwil dan memiliki brewok yang memenuhi dagunya. Terakhir, kandidat yang mampu memikat hati Cangik, adalah Jaka Wisesa, rakyat jelata yang dengan kerendahan hatinya mau menuruti apa kata Cangik.

Lewat "Republik Cangik" penonton seakan diajak mengingat kembali Pemilihan Presiden 2014. Menikmati lakon para pemain yang berhasil menirukan tokoh karakter nyata membuat penonton tertawa bahkan tepuk tangan. Tak hanya itu, penonton juga diajak menelaah, andil perempuan dalam mengurus Negara melalui sosok Cangik.

“Jaka Wisesa, jangan lupakan jasa aku. Berkat aku kamulah dielu-elukan oleh rakyat. Kamu tetap bawahan aku," ancam Cangik berulang kali. Jaka Wisesa mengangguk. "Siap Bunda Cangik."

Pada produksi ke-136 Teater Koma ini, penonton seakan diajak merenung apakah pemilihan maharaja yang dilakukan seorang panakawan adalah musibah atau justru berkah?

"Ini merupakan pertanyaan bagi kita semua dan pementasan ini menjadi cerminan bagi kita untuk melihat diri kita secara jujur,” ujar Nano Riantiarno, penulis naskah dan sutradara pementasan ini.

Nano mengaku butuh waktu lima bulan untuk mengerjakan naskah pementasan ini. Pementasan ini merupakan lakon ke-4 yang berjudul ‘Republik’ dan menggunakan nama  tokoh panakawan setelah sebelumnya mementaskan Republik Bagong, Republik Togog dan Republik Petruk. Namun, baru kali ini Nano mengangkat  panakawan perempuan.

"Mungkin sekarang waktunya perempuan 'bicara'", kata Nano dalam konferensi pers Pementasan Republik Cangik belum lama ini.

Lirik lagu ditangani Idrus Madani dan diaransemen oleh Fero A. Stefanus, sedangkan arahan gerak diserahkan kepada Elly Luthan. Sederet nama aktor dan aktris teater kawakan meramaikan pementasan ini diantaranya Rita Matu Mona, Budi Ros, Subarkah Hadisarjana, Anneke Sihombing, Dorias Pribadi, Alex Fatahillah, Ohan Adiputra, Daisy Lantang, Ratna Ully, Raheli Dharmawan, Supartono JW, Emmanuel Handoyo dan 23 pemain lainnya.

Produksi Teater Koma ke-136 ini dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta mulai Kamis (13/11/2014) hingga Sabtu, 22 November 2014.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI