"Berkebaya di mana saja dan kapan saja," itulah pameo yang kini dikibarkan sejumlah perempuan yang tinggal di Jakarta ini. Mereka tak sungkan berkebaya apapun kegiatan yang dilakukan, saat kerja, saat jalan-jalan, atau bahkan berwisata. Meski untuk itu mereka harus naik angkutan umum macam ojek sekalipun. Bahkan ketika ikut Pesta Rakyat pada 20 Oktober lalu, para perempuan ini juga mengenakan kebaya.
Kebaya juga yang dikenakan para perempuan itu, ketika saya berbincang dengan mereka di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan beberapa waktu lalu.
Adalah Kristin Samah yang menularkan virus berkebaya pada teman-temannya. Malam itu ia mengenakan kebaya klasik dengan kutu baru berwarna ungu yang dipadu dengan kain batik kontemporer berwarna senada. Ia ditemani Lia Natalia mengenakan kebaya warna kuning dipadu dengan kain parang, dan Tuti Marlina yang tampil cantik dengan kebaya berlengan pendek warna cokelat yang juga dipadunya dengan kain bermotif parang.
"Mengenakan kebaya rasanya lebih eksotis dan anggun, sekaligus melestarikan budaya," ujar Kristin menerangkan alasan yang membuatnya jatuh cinta pada kebaya.
Perempuan yang telah melahirkan beberapa buku ini menolak anggapan bahwa mengenakan kebaya itu repot. Kebaya, ujarnya, tak ubahnya blus. Bisa dipadukan dengan berbagai model bawahan, kain, kulot, celana panjang atau bahkan jeans. Berkebaya juga membuatnya lebih kreatif. Setiap hari, kita harus berpikir, untuk mencari padu padan yang pas dengan kegiatan yang akan dilakukan. Dan ini menjadi tantangan tersendiri yang membuat mereka tidak pernah bosan.
"Kami ingin membumikan kebaya. Bahwa kebaya bisa dikenakan dalam berbagai acara, tak harus acara resmi," tambah Lia.
Tapi kebaya membuat para perempuan ini merasa harus menjaga sikap. Mereka tak bisa lagi sembarangan seperti ketika mengenakan baju biasa. Ada banyak pengalaman dari para perempuan ini saat mengenakan kebaya. Tak satu kali mereka ditanya akan kondangan, atau disebut cantik bahkan dikira ibu pejabat.
Berkebaya juga membuat para perempuan ini lebih mencintai kain tradisional. Mereka tak hanya tergerak untuk mengoleksi berbagai kain tradisional dari berbagai wilayah Nusantara, tetapi juga mempelajari sifat dan filosofinya.
"Kami tentu tak ingin salah mengenakan kain, karena masing-masing kain tradisional memiliki makna tertentu," imbuh Tuti, yang mengaku sesekali masih suka menanggalkan kebaya.
Alasan inilah yang membuat 'geng' perempuan berkebaya ini sering berkumpul dan bertukar informasi seputar kain tradisional. Tak ketinggalan informasi mengenai penjahit kebaya yang makin sulit ditemukan.
Geng ini juga sering jalan bareng ke tempat-tempat wisata, hanya untuk mejeng dengan kebaya cantik mereka. Mereka juga sering kumpul bareng untuk berburu kebaya atau kain tradisional. Dan jika, salah seorang anggota kebetulan melakukan perjalanan ke luar Jakarta, maka mereka saling menitip untuk membeli kain tradisional daerah yang dituju.
"Dengan mendatangi langsung para perajin membuat kita lebih menghargai kain tradisional," ujar Tuti yang berdarah Minang. Lia menambahkan, sejak jatuh cinta pada kebaya ia jadi lebih konsumtif. Ia yang dulunya tergolong konsumen rasional jadi sering lupa daratan ketika melihat kebaya.
"Kalau sudah lihat kebaya cantik, saya tak pernah menunda lagi. Langsung beli beberapa sekaligus," ujarnya sambil terbahak.
Lia yang berdarah Ambon ini menambahkan kebaya tak hanya dikenal di Jawa. Hampir setiap daerah di Indonesia memiliki kebaya, dengan model yang beragam. Kebaya, ujarnya, juga dikenal di Batak, Padang, Ambon, Flores ataupun Bima. Jadi mari kita mencintai Indonesia dengan berkebaya.