Suara.com - Menjadi dokter ternyata bukanlah cita-citanya sejak kecil. Itulah pengakuan yang dikemukakan oleh dr Zaenal Abidin, SH, MH yang kini menjabat sebagai Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) periode 2012-2014.
“Dulu waktu kecil saya malah cita-citanya ingin jadi insinyur, karena waktu itu saya berpikir bagus sekali kalau bisa membuat mobil dan pesawat,” ceritanya mengawali perbincangan dengan suara.com di Kantor Pengurus Besar (PB) IDI, Menteng, Jakarta, belum lama ini.
Keinginannya menjadi dokter, kata Zaenal, baru muncul saat duduk di bangku Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 200 Watan, Soppeng, Sulawesi Selatan (Sulsel) pada 1980. Waktu itu, ia memilih jurusan IPA karena nilainya memang memadai untuk mengambil jurusan tersebut.
Di situlah ia menyukai pelajaran biologi dan kimia yang membuatnya tertarik untuk melanjutkan pendidikan di fakultas kedokteran. “Guru biologi saya sempat tanya soal cita-cita saya waktu itu, lantas saya jawab ingin jadi dokter,” kenang lelaki kelahiran Soppeng, 5 April 1965 ini.
Sejak itulah tekadnya semakin bulat untuk mewujudkan cita-citanya dengan rajin belajar. Bahkan sejak kelas 2 SMA, Zaenal rajin mengikuti pelajaran tambahan di sekolah. Tak jarang hari Minggu pun ia manfaatkan untuk mengikuti pelajaran tambahan yang diberikan oleh gurunya.
“Dulu di sekolah saya, les yang diberikan oleh para guru itu gratis. Mereka pun tak dapat uang tambahan dari sekolah. Jadi, benar-benar ingin mencerdaskan siswanya agar banyak yang diterima di perguruan tinggi negeri, karena itu kebanggaan bagi mereka,” terang lelaki berkumis ini.
Singkat cerita, setelah lulus SMA pada 1983, Zaenal langsung mengikuti tes masuk Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin di Makassar. Alhasil ia pun diterima di kampus yang sudah lama diidam-idamkannya itu.
“Saking inginnya diterima di fakultas kedokteran, saya belajar giat sampai lupa waktu hingga kena demam. Tapi semua perjuangan itu terbayar, karena saya diterima di kampus itu,” ujarnya bangga.
Meski kuliahnya dirampungkan dalam waktu cukup lama yaitu sekitar 10 tahun lebih, Zaenal akhirnya berhasil menyabet gelar dokter pada 1997. Selepas kuliah ia pun memutuskan untuk hijrah ke Jakarta. Di Ibukota Metropolitan inilah kariernya sebagai dokter mulai dirintis.
“Waktu itu saya praktik di sebuah klinik selama satu tahun, kemudian mengikuti PTT di Puskesmas Garut, selama dua tahun,” jelasnya.
Suka Duka Bertugas di Garut
Saat menjadi Pegawai Tidak tetap (PTT) di sebuah Puskesmas di daerah terpencil Garut, Jawa Barat (Jabar) itulah, Zaenal merasakan betapa pengabdiannya kepada masyarakat diuji. Bagaimana tidak, daerah tempatnya bertugas selama dua tahun (1998-2000) itu memiliki begitu banyak keterbatasan, baik akses transportasi, komunikasi, pelayanan kesehatan dan masih banyak lagi.
“Saat saya bertugas di Pangrumasan, dokter yang bertugas hanya saya saja dibantu dua perawat. Sementara kampungnya luas sekali, tapi jalannya jelek semua, nggak bisa dilalui mobil. Paling hanya ojek motor, itu pun kebanyakan bisa dicapai dengan jalan kaki,” kenangnya.
Meski demikian, Zaenal tetap menjalani masa tugasnya itu penuh suka cita. Ia memang sudah siap dengan berbagai risiko yang harus diembannya sebagai dokter. “Sebagai dokter Puskesmas, saya harus siap 24 jam melayani warga di sana. Sering pula malam-malam dijemput warga untuk mengobati pasien,” ceritanya.
Untuk mengunjungi pasiennya itu, Zaenal kerap harus berjalan kaki hingga dua jam dengan kondisi jalanan rusak, berkelok-kelok dan mendaki. “Saking jauhnya, anak-anak desa yang sering menemani saya bertugas sampai bawa bekal agar tubuh tetap berenergi,” ungkapnya sembari tertawa.
Tak hanya bertugas di Puskesmas, Zaenal juga masih harus menangani beberapa posyandu yang tersebar di kampung tersebut. “Bisa dibayangkan betapa banyaknya tugas saya waktu itu, tapi saya tetap menikmati. Buat saya, selama bertugas di sana justru saya punya banyak pengalaman bermanfaat,” ujarnya bijak.
Setelah selesai menjalani PTT-nya di Garut, Zaenal kembali ke Jakarta. Ia pun memiliki banyak waktu di luar kesibukannya sebagai dokter untuk aktif di organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Di organisasi inilah akhirnya ia berhasil menduduki posisi sebagai Ketua Umum IDI periode 2012-2014.
Dirikan Yayasan Bersama Istri
Selain sibuk di IDI, Dr Zaenal juga sangat peduli dengan berbagai masalah gizi, terlebih persoalan di gizi di Indonesia masih banyak yang harus diperbaiki. Inilah yang melatarbelakanginya mendirikan Yayasan Gema (Gerakan Masyarakat).
Bersama istri tercinta, dr Tirta Prawita Sari, SpGK, ia aktif melakukan edukasi dan penyuluhan tentang pentingnya gizi ke berbagai sekolah. Zaenal memang begitu bersemangat menularkan wawasannya kepada masyarakat mengenai gizi.
Semua itu ia lakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar masalah kesehatan dapat ditekan dan diatasi dengan cara yang lebih efisien.
"Tidak ada penyakit yang tidak berhubungan langsung dengan gizi. Itulah mengapa edukasi gizi kepada masyarakat sangat penting dan harus selalu dilakukan secara terus-menerus," ungkap lelaki yang menyabet gelar S2 di Hukum Kesehatan Universitas Hasanuddin, Makasar ini.
Zaenal berpendapat, pentingnya gizi sebenarnya bukan hanya untuk mencegah penyakit di tingkat masyarakat, tetapi juga dirasakan pada tingkatan medis bagi yang sudah terkena penyakit. “Terapi yang melibatkan gizi akan lebih cepat menyembuhkan pasien sehingga biayanya bisa lebih murah,” imbuhnya.
Lebih dari itu, tambah Zaenal, kesadaran akan gizi yang baik juga mendukung program jaminan sosial.
“Pembiayaan yang harus ditanggung pemerintah melalui program jaminan kesehatan juga akan lebih efisien bila masalah gizi selalu diperhatikan. Jadi, masalah gizi tidak bisa dianggap sepele,” terangnya menutup perbincangan.