Suara.com - Ratusan pasang mempelai tampak beriring memasuki gedung pertemuan sambil bergandengan tangan. Di luar kerumunan orang mengelu-elukan para pasangan yang baru menikah ini. Mempelai laki-laki mengenakan jas hitam, sementara pengantin perempuan mengenakan baju pengantin sederhana bewarna putih. Di tangan mereka setangkup bunga warna merah.
Sebuah spanduk dipasang di pintu masuk gedung tempat pasangan berbahagia mengikat janji. Bunyinya, "Berbahagialah perempuan yang bersedia menjadi pasangan."
"Siapkan tenaga dan bertepuklah keras-keras. Kita tidak menginginkan tepuk tangan babak kedua seperti pemilihan umum," kata pembawa acara kepada para tamu saat pengantin memasuki gedung.
Tidak ada acara dansa dan para tamu hanya dihibur dengan pembacaan puisi dan atraksi panggung oleh penyanyi gadis remaja. Juga tidak ketinggalan lelucon mengenai situasi politik Afghanistan yang penuh konflik.
"Kita ingin untuk menyelesaikan semuanya langsung pada putaran pertama dengan gembira, karena tidak akan ada John Kerry yang bisa mengatasi persoalan Anda nanti," katanya sambil bercanda.
Pernikahan massal itu diselenggarakan oleh Abul Fazel, seorang tokoh agama dan dermawan setempat. Dan pemandangan serupa, makin sering terlihat beberapa tahun terakhir di Afghanistan. Makin banyak pasangan muda yang cenderung menghindari pesta mewah demi menghemat uang. Mereka memilih pernikahan massal yang berbiaya murah.
Rezim Taliban melarang pesta pernikahan saat berkuasa pada 1996 sampai 2011, tapi sejak invasi AS yang berhasil menjatuhkan mereka, acara pernikahan mewah tumbuh subur di negeri yang puluhan tahun dikoyak konflik itu.
Mobil limusin yang dihias, gedung megah, serta resepsi dengan ratusan undangan seolah menjadi sebuah hal yang wajib bagi pasangan kaya.
Resepsi pernikahan selama satu hari di sebuah gedung di Kabul saat ini berbiaya antara 10.000 sampai 20.000 dolar AS (Rp120 juta sampai Rp240 juta). Sebuah angka yang tidak sedikit bagi penduduk salah satu negara termiskin di dunia itu.
Bagi kelompok kaya yang jumlahnya sangat sedikit, biaya sebesar itu tidak menjadi masalah, tapi tidak demikian halnya dengan pasangan dari kelompok miskin dan kelas menengah. Bagi pasangan yang terpaksa menunda pernikahan karena keterbasan biaya, pernikahan massal berbiaya murah ini pun menjadi pilihan.
"Saya sudah bertunangan sejak dua tahun lalu, saya benar-benar tidak sanggup membiayai pesta pernikahan besar. Kemudian saya mendengar tentang organisasi ini di media. Saya lalu mendaftar dan hari ini menikah," kata Mujtaba Rahimi (24).
"Ini bukan pesta besar, tapi lebih kepada upacara spiritual. Saya berharap lebih banyak lagi pasangan yang menikah dengan cara seperti ini di Afghanistan," katanya.
Di Afghanistan, berlaku adat istiadat bahwa adalah pengantin laki-laki yang harus membiayai pernikahan. Fenomena kawin massal ini tentu menjadi dewa penolong bagi laki-laki Afghanistan. (Antara)