Suara.com - Pelaku pariwisata di Indonesia dinilai belum peduli terhadap keberadaan fasilitas umum untuk kaum difabel atau penyandang cacat.
"Di dunia internasional ada kode etik wisata, salah satunya adalah dunia pariwisata harus menghormati semua konsumennya. Termasuk untuk kaum disabilitas atau kaum difabel," kata Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Marie Elka Pangestu di sela sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu (11/10/2014).
Marie menuturkan, salah satu contoh bahwa dunia pariwisata masih belum peduli terhadap kaum difabel adalah masih banyak kamar hotel yang pintunya tidak muat jika dihuni oleh kaum difabel yang menggunakan kursi roda.
"Kadang teman-teman difabel itu mengeluhkan sulitnya akses ke kamar mandi bagi mereka ketika berada di hotel," kata dia.
Padahal, selama ini aturan untuk industri pariwisata tentang fasilitas umum untuk kaum difabel di Indonesia sudah ada dan jelas yakni setiap sektor pariwisata harus menyediakan fasilitas penunjan bagi kaum difabel.
"Aturan mengenai ini sudah cukup menurut saya, cuma yang jadi masalah sekarang adalah implementasinya. Standarisasi sudah ada tapi mungkin harus diperkuat saja," kata dia.
Sementara itu, Sri Lestari, penderita Paraplegi asal Klaten, Jawa Tengah, yang telah melakukan perjalanan Aceh-Jakarta menggunakan sepeda motor khusus mengakui menemukan banyak kesulitan untuk fasilitas umum yang terbentang di dua pulau tersebut.
"Saya kira, dunia pariwisata belum ramah bagi penyandang disabilitas. Contohnya adalah saya masih kesulitan menemukan toilet umum di pom bensin yang bisa dengan mudah diakses oleh kursi roda. Mayoritas jalanan pun masih bergelombang," kata dia.
Menurut dia, hotel dan berbagai destinasi pariwisata lainnya yang ia kunjungi selama perjalan tersebut juga tidak memberikan kenyamanan bagi perempuan difabel. (Antara)