Suara.com - Hingga usianya menginjak 29 tahun, Brittany Maynard dikenal sebagai perempuan yang tak mengenal takut. Ia ikut lomba maraton, setahun berkeliling negara-negara Asia Tenggara, dan bahkan menaklukkan puncak Kilimanjaro di Afrika.
Maka, tak mengejutkan jika ia memilih menghadapi kematian dengan cara yang sama. Senin pekan depan, Maynard bekerja sama dengan Compassion & Choices lembaga nirlaba yang mengadvokasi hak warga untuk memilih cara untuk mengakhiri hidup, akan merilis video kampanye kebebasan warga untuk mengakhiri hidupnya.
Dan pada 1 November mendatang, Maynard, yang di bulan April lalu divonis hanya memiliki waktu enam bulan, akan mengakhiri hidupnya dengan sebuah proses pengobatan yang ia menolak menyebutnya sebagai bunuh diri.
"Tak ada satu sel pun di tubuh saya yang ingin mati. Saya ingin tetap hidup, dan saya berharap ada pengobatan yang tepat untuk saya tetapi itu tak ada," ujarnya dalam wawancara eksklusif dengan majalah PEOPLE.
Maynard divonis menderita glioblastoma stadium 4, sebuah tumor otak yang mematikan. Maynard sudah mendiskusikan penyakit yang dideritanya dengan sejumlah ahli. Dan mereka mengatakan dia akan meninggal karena penyakit ini.
"Glioblastoma ini akan membunuh saya, dan itu di luar kontrol saya. Ini cara yang sangat mengerikan untuk mati. Bisa memilih menghadapinya dengan penuh harga diri lebih tidak menakutkan," lanjutnya.
Maynard mengatakan keluarga sepenuhnya mendukung keputusannya, meski menyadari mereka akan sangat kehilangan, karena dia adalah anak tunggal.
"Mereka mendukung saya, karena mereka mendengar sendiri apa yang akan terjadi pada saya," ujarnya.
Penyakit Maynard ini mulai terdeteksi Januari lalu, ketika ia merasakan sakit kepala yang luar biasa. Oleh dokter ia didiagnosa menderita tumor otak alias glioblastoma.
Tiga bulan kemudian, tepatnya pada bulan April, setelah menjalani operasi, tumor di otaknya justru tumbuh makin besar. Pada saat itulah ia divonis hanya akan bertahan enam bulan lagi.
Setelah menjajagi semua opsi yang mungkin dilakukan, Maynard yang saat itu tinggal di San Francisco, AS memutuskan 'pengobatan' untuk mematikan adalah opsi terbaiknya. Awal tahun ini juga, seluruh keluarga Maynard tinggal bersamanya di Portland, negara bagian Oregon demi memberi dukungan bagi Maynard untuk merealisasikan keputusannya.
Kampanye
Sejak 1997, negara bagian Oregon memang telah mengesahkan undang-undang Death with Dignity Act. Dan sejak saat itu tercatat 752 orang memanfaatkan undang-undang itu. Pada pertengahan Oktober ini, rekaman kesaksian Maynard berdurasi enam menit yang juga berisi wawancara dengan ibunda Maynard, Debbie Ziegler, dan suaminya Dan Diaz ini akan diputar di depan DPR negara bagian California. Dan pada saatnya rekaman ini akan diputar di depan para pemilih.
"Sekarang, ini adalah pilihan yang hanya tersedia untuk beberapa orang Amerika, semua yang benar-benar tidak etis," katanya.
Maynard mengatakan keluarganya telah banyak berkorban agar dia mendapatkan akses hukum untuk "mati secara bermartabat". Mulai pindah tempat tinggal hingga membentuk tim dokter yang mau melakukan treatment ini.
"Ada banyak warga Amerika yang tidak memiliki cukup waktu ataupun uang untuk itu dan saya berpikir ini bukan cara yang adil," tegasnya.
Ini alasan yang mendorongnya untuk menggunakan sisa waktunya untuk melakukan advokasi, agar orang-orang bisa melakukan hal yang sama.
"Saya percaya pilihan ini etis, dan yang membuatnya etis karena ini adalah pilihan. Pasien dapat mengubah pikiran mereka sampai ke menit-menit terakhir. Aku merasa sangat dilindungi di Oregon," ujarnya.
Sampai saat ini ia belum goyah, walaupun ia masih ingin merayakan ulang tahun suaminya pada 30 Oktober mendatang. Aku, ujarnya, makin banyak berurusan dengan kejang dan sederet rasa sakit lainnya.
"Saya masih keluar dan berjalan-jalan dengan keluarga saya sehari-hari. Saya mencoba untuk tidak memegang anjing lagi Karena beberapa minggu lalu aku jatuh beberapa kali," paparnya.
Ia dirawat di rumah sakit, dua pekan lalu setelah dua kali mengalami kejang. Setelah itu ia tak mampu berbicara selama beberapa jam.
"Jadi menakutkan, sangat menakutkan. Saya sekarat, dan saya memilih jalan yang lebih mudah," ujarnya. Itu sebabnya dia yakin telah membuat keputusan yang tepat. Dan ketika 1 November itu tiba, Maynard akan menghadapi kematian di kamar tidurnya dengan didampingi suami, ibu, ayah tiri, dan sahabatnya. (people.com)