Suara.com - Hingga usianya menginjak 29 tahun, Brittany Maynard dikenal sebagai perempuan yang tak mengenal takut. Ia ikut lomba maraton, setahun berkeliling negara-negara Asia Tenggara, dan bahkan menaklukkan puncak Kilimanjaro di Afrika.
Maka, tak mengejutkan jika ia memilih menghadapi kematian dengan cara yang sama. Senin pekan depan, Maynard bekerja sama dengan Compassion & Choices lembaga nirlaba yang mengadvokasi hak warga untuk memilih cara untuk mengakhiri hidup, akan merilis video kampanye kebebasan warga untuk mengakhiri hidupnya.
Dan pada 1 November mendatang, Maynard, yang di bulan April lalu divonis hanya memiliki waktu enam bulan, akan mengakhiri hidupnya dengan sebuah proses pengobatan yang ia menolak menyebutnya sebagai bunuh diri.
"Tak ada satu sel pun di tubuh saya yang ingin mati. Saya ingin tetap hidup, dan saya berharap ada pengobatan yang tepat untuk saya tetapi itu tak ada," ujarnya dalam wawancara eksklusif dengan majalah PEOPLE.
Maynard divonis menderita glioblastoma stadium 4, sebuah tumor otak yang mematikan. Maynard sudah mendiskusikan penyakit yang dideritanya dengan sejumlah ahli. Dan mereka mengatakan dia akan meninggal karena penyakit ini.
"Glioblastoma ini akan membunuh saya, dan itu di luar kontrol saya. Ini cara yang sangat mengerikan untuk mati. Bisa memilih menghadapinya dengan penuh harga diri lebih tidak menakutkan," lanjutnya.
Maynard mengatakan keluarga sepenuhnya mendukung keputusannya, meski menyadari mereka akan sangat kehilangan, karena dia adalah anak tunggal.
"Mereka mendukung saya, karena mereka mendengar sendiri apa yang akan terjadi pada saya," ujarnya.
Penyakit Maynard ini mulai terdeteksi Januari lalu, ketika ia merasakan sakit kepala yang luar biasa. Oleh dokter ia didiagnosa menderita tumor otak alias glioblastoma.
Tiga bulan kemudian, tepatnya pada bulan April, setelah menjalani operasi, tumor di otaknya justru tumbuh makin besar. Pada saat itulah ia divonis hanya akan bertahan enam bulan lagi.